Jumat 05 Aug 2022 19:03 WIB

Arti Penerapan Pasal 55 dan 56 KUHP Terhadap Bharada E Menurut Pakar

Selain menerapkan Pasal 338 KUHP, penyidik juga menyertakan Pasal 55 dan 56 KUHP.

Rep: Mabruroh, Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Bharada E (kiri) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir J. (ilustrasi)
Foto:

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan Bharada E yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir J masih bisa dilindungi instansi itu. Asalkan, Bharada E bersedia menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama.

"Kalau ditetapkan sebagai tersangka, LPSK tidak ada kewenangan lagi memberikan perlindungan kecuali yang bersangkutan bersedia menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dalam mengungkap kasus," kata Ketua LPSK, Hasto A Suroyo, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (5/8/2022).

Hasto menyinggung berdasarkan pasal yang dikenakan kepada Bharada E yakni pasal 338 juncto pasal 55 dan pasal 56 KUHP, maka hal itu bisa menjadi peluang bagi Bharada E sebagai terlindung LPSK. Akan tetapi, ujar dia, hal itu tetap kembali kepada yang bersangkutan apakah bersedia atau sebaliknya menjadi justice collaborator dalam mengungkap kematian Brigadir J.

Ia mengingatkan tersangka yang ingin mendapatkan perlindungan dan bersedia menjadi justice collaborator, maka harus memenuhi persyaratan dari lembaga itu. "Pertama, dia bukan pelaku utama. Dia harus bekerja sama dan mengungkapkan peristiwa yang dia ikut terlibat itu," jelas Suroyo.

Pascapenetapan tersangka, menurut Hasto, Bharada E hingga kini belum berkoordinasi dengan lembaga itu apakah bersedia atau tidak menjadi justice collaborator.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan, pengungkapan kasus kematian Brigadir J semakin jelas atau terang benderang. Hal itu setelah sejumlah rangkaian pengumpulan keterangan dari berbagai pihak.

"Ini yang membuat posisi kami melihat penanganan kasus Brigadir J makin lama makin terang benderang," kata anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam seusai meminta keterangan dari Tim Khusus Polri dan Tim Siber di Jakarta, Jumat (5/8/2022).

Kejelasan kasus tersebut usai Komnas HAM mendapatkan keterangan dari Polri mengenai 10 telepon seluler (handphone) yang telah diperiksa. Keterangan yang didapatkan Komnas HAM juga berkaitan erat dengan konstrain waktu yang sejak awal didapatkan oleh lembaga HAM tersebut saat menemui keluarga Brigadir J di Jambi.

"Itu juga terukur, dari hasil pendalaman kami 10 handphone tersebut dikonstrain waktunya terkonfirmasi, termasuk substansinya juga terkonfirmasi," kata Anam.

Disebutkan pula bahwa dari 10 telepon seluler (ponsel) yang telah diperiksa Polri, Komnas HAM kembali periksa satu per satu secara detail. Bahkan, kata dia, Komnas HAM juga dijelaskan dengan luas soal penggunaan alat, metode yang digunakan, dan logika bekerjanya.

"Termasuk bagaimana memperlakukan handphone tersebut dan mendapatkan substansinya," ujar dia.

Untuk lima ponsel lainnya yang saat ini masih dianalisis, Komnas HAM masih akan menunggu dan segera meminta keterangan apabila telah selesai diperiksa. Terkait dengan kepemilikan ponsel, Anam tidak menjawabnya.

Pasalnya, hal tersebut menjadi bagian dari yang akan didalami oleh Komnas HAM. Semua keterangan yang diperoleh dari 10 ponsel tersebut akan disinkronkan dengan bahan-bahan yang telah didapatkan oleh Komnas HAM sebelumnya.

"Oleh karena itu, kami tidak bisa menyebutkan itu handphone siapa, merek apa, jenis apa, dan lain sebagainya," kata Anam.

 

photo
Kejanggalan dari kematian Brigadir J, ajudan eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. - (Republika)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement