Senin 01 Aug 2022 16:20 WIB

Legislator Ingatkan Penyebaran Radikalisme di Medsos, Literasi Digital Diperlukan

Perlu peningkatan kewaspadaan terhadap penyebaran paham radikal di medsos.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, Taufiq R Abdullah, mengingatkan bahaya penyebaran radikalisme di media sosial.
Foto: Dok Pri
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, Taufiq R Abdullah, mengingatkan bahaya penyebaran radikalisme di media sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah mengingatkan perlunya peningkatan kewaspadaan terhadap penyebaran paham radikal di media sosial (medsos). Para penyeru radikalisme saat ini seolah paham jika medsos menjadi media paling efektif untuk mempengaruhi para generasi muda.

"Penyebaran radikalisme dilakukan sangat masif di media sosial dan pengaruhnya luar biasa, terutama bagi generasi muda. Kalangan milenial terutama siswa SMP dan SMA ini sangat rentan untuk menerima pengaruh paham radikal, karena masa-masa ini adalah masa pencarian jati diri," kata Taufiq dalam keterangannya, Senin (1/8).

Baca Juga

Imbauan itu disampaikan Taufiq dalam webinar yang diikuti guru-guru yang ada dalam lingkup Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Legislator dari Fraksi PKB tersebut menilai, peningkatan literasi digital sangat mendesak dilakukan, terlebih Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia.

"Literasi digital, sosialisasi, dan kegiatan yang dilakukan untuk mengajak masyarakat agar bijak dalam bermedia sosial masih penting dan masih layak untuk terus disampaikan. Apalagi saat ini kita tahu banyak kasus hukum akibat pelanggaran UU ITE. Mulai dari dugaan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga pinjaman online ilegal," ujar Taufiq.

Dia menjelaskan, di tengah perkembangan teknologi digital, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap gawai atau telepon pintar semakin tinggi. Berbagai aktivitas formal seperti rapat, seminar, hingga belajar saat ini bisa dilakukan secara daring. Pun juga pemanfaatan waktu luang, mulai nonton film, konser musik, hingga berinteraksi sosial bisa dilakukan dengan sentuhan jari pada gawai.

"Perkembangan teknologi digital tidak dapat ditolak, karena itu sebuah keniscayaan. Yang dapat dilakukan adalah mengambil manfaat sebesar-besarnya dari perkembangan teknologi dan meminimalisir potensi-potensi yang merugikan," kata Taufiq.

Anggota Dewan Syuro DPP PKB ini mengatakan, upaya meminimalkan potensi merugikan dari ketergantungan terhadap gawai ini perlu menjadi perhatian bersama. Menurutnya, tren laporan masyarakat ke kepolisian terkait UU ITE terus meningkat. Pada tahun 2018 ada laporan sebanyak 4.360, di tahun 2019 bertambah menjadi 4.586. Lalu di 2020 meningkat lagi menjadi 4.790 kasus. Bahkan baru-baru ini ada mantan pejabat yang terjerat kasus akibat postingan di media sosial.

"Maka kedewasaan dalam menggunakan medsos ini mutlak diperlukan. Pikirkan dahulu sebelum posting, apakah postingan kita fakta, apakah itu penting untuk disampaikan, apakah berpotensi melanggar hukum dan apakah postingan kita ini memberikan manfaat pada orang lain," ujarnya.

Legislator dari Dapil Jateng VII ini juga mengingatkan, jika ketergantungan terhadap medsos dewasa ini juga memicu berbagai persoalan berkaitan dengan kesehatan mental. Salah satunya FOMO atau fear of missing out, sebuah sindrom yang dirasakan oleh individu akibat dari rasa khawatir atau takut ketinggalan momentum di media sosial.

"Adiksi atau ketergantungannya pada smart phone membuat sikap kita menjadi individualis, berperilaku lebih berorientasi pada diri sendiri. Misalnya saja berkumpul dalam satu tempat dengan teman dan keluarga tapi tidak berinteraksi. Padahal, manusia tetaplah manusia yang sejatinya membutuhkan interaksi sosial secara langsung," kata Taufiq.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement