Jumat 15 Jul 2022 16:00 WIB

Ini Pasal RKUHP Dinilai Dewan Pers Mengancam Kebebasan Pers

Media yang memuat kritik, tapi tidak ada solusi, bisa terkena delik hukum.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menilai, tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam RKUHP membahayakan pers dan kerja jurnalis.
Foto: Dok Muhammadiyah
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menilai, tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam RKUHP membahayakan pers dan kerja jurnalis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pers mencermati sejumlah ketentuan hukum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)yang mengancam kebebasan pers di Indonesia. Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers itu telah dikritisi Dewan Pers pada pembahasan RKUHP sebelumnya dan masih terdapat dalam draft final RKUHP terbaru.

"Secara umum kami melihat pasal-pasal yang kami sorot pada waktu itu ada sekitar delapan poin dan poin-poin tersebut masih tetap di sini yaitu pasal-pasal yang dianggap memberangus pers dan keberadaan pers," ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana dalam keterangan persnya secara daring, Jumat (15/7).

Baca Juga

Pasal-pasal tersebut antara lain:

1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara;

2. Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

3. Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah , serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum)

4. Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong;

5. Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan;

6. Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan;

7. Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara;

8. Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan pencemaran nama baik;

9. Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.

Yadi mengatakan, berbeda pada pembahasan RKUHP sebelumnya, Dewan Pers saat ini tidak lagi diajak dalam mendiskusikan pasal-pasal tersebut. "Dewan Pers tidak lagi diajak untuk membahas RKUHP, walaupun dulu pernah. Kita berharap pemerintah dan DPR agar kembali mengkaji pasal pasal itu dan melihat kembali dengan mengundang stakeholder atau pemangku kepentingan terkait," katanya.

Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menilai, tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam RKUHP membahayakan pers dan kerja jurnalis. Dia mengatakan, terdapat 10-12 pasal di RKUHP yang bagian-bagian ataupun isu-isu membelenggu kebebasan pers. Pers kata Azyumardi, termasuk jurnalis menjadi objek delik dan kriminalisasi melalui RKUHP ini.

Dia mencontohkan, pasal yang tidak membolehkan pers/media melakukan kritik-kritik tanpa adanya solusi. Azyumardi menjelaskan, kritik yang dimaksud kekuasaan bersifat umum bukan hanya ditujukan kepada presiden dan wakil presiden tetapi pemerintahan umum hingga tingkat bawah.

Karena itu, media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa terkena delik hukum. "Kita berkesimpulan RKUHP yang sekarang ini jauh lebih lebih berbahaya dan lebih berpotensi untuk memberangus kebebasan pers kebebasan berekspresi," ujar Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dalam keterangan persnya secara daring, Jumat (15/7).

Selain itu, pers/media itu dilarang menyiarkan berita-berita yang belum teruji kebenarannya. Jika pemberitaan itu tidak tidak sesuai dengan kebenaran, maka jurnalis dan media bisa kena delik kena hukum berjenjang.

"Kalau misalnya yang diberitakan itu cuma tidak menimbulkan kegaduhan ya hukumannya lebih ringan, tapi kemudian kalau menimbulkan kegaduhan lebih berat," kata Azyumardi.

Dia mengatakan, pada prinsipnya Dewan Pers tidak menolak adanya RKUHP. Namun demikian, RKUHP yang disebut sudah tahap final ini tidak boleh memberangus kebebasan pers dan berekspresi di masyarakat.

Azyumardi berharap, Dewan Pers dan konstituen media dilibatkan dalam RKUHP agar tidak ada pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers di Indonesia.

RKUHP saat ini, kata dia, membuat pers di Indonesia tidak lagi bisa memainkan peran sebagai kekuatan cek and balance. "Kekuatan yang bisa memberitakan hal-hal yang memang perlu diperhatikan oleh Pemerintah termasuk di dalam menyampaikan kritik-kritik kepada pemerintah." ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement