Jumat 15 Jul 2022 15:43 WIB

Dewan Pers: RKUHP Sekarang Lebih Berbahaya Bagi Kebebasan Pers

Dewan Pers tidak lagi diajak untuk membahas RKUHP, walaupun dulu pernah.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, RKUHP yang sekarang ini jauh lebih lebih berbahaya dan lebih berpotensi untuk memberangus kebebasan pers kebebasan berekspresi.
Foto: Dok Muhammadiyah
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, RKUHP yang sekarang ini jauh lebih lebih berbahaya dan lebih berpotensi untuk memberangus kebebasan pers kebebasan berekspresi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pers mencermati sejumlah ketentuan hukum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengancam kebebasan pers di Indonesia. Dalam draft RKUHP terbaru, pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dan sebelumnya telah dikritisi Dewan Pers, masih ada dan justru bertambah.

"Kita berkesimpulan RKUHP yang sekarang ini jauh lebih lebih berbahaya dan lebih berpotensi untuk memberangus kebebasan pers kebebasan berekspresi," ujar Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dalam keterangan persnya secara daring, Jumat (15/7).

Azyumardi menjelaskan, terdapat 10-12 pasal di RKUHP yang bagian-bagian ataupun isu-isu membelenggu kebebasan pers. Pers kata Azyumardi, termasuk jurnalis menjadi objek delik dan kriminalisasi melalui RKUHP ini.

Dia mencontohkan, pasal yang tidak membolehkan pers/media melakukan kritik-kritik tanpa adanya solusi. Azyumardi menjelaskan, kritik yang dimaksud kekuasaan bersifat umum bukan hanya ditujukan kepada presiden dan wakil presiden tetapi pemerintahan umum hingga tingkat bawah.

"Karena itu media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa kena, bisa kena delik," ujar Azyumardi.

Dia mengatakan, pada prinsipnya Dewan Pers tidak menolak adanya RKUHP. Namun demikian, RKUHP yang disebut sudah tahap final ini tidak boleh memberangus kebebasan pers dan berekspresi di masyarakat.

Azyumardi berharap, Dewan Pers dan konstituen media dilibatkan dalam RKUHP agar tidak ada pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers di Indonesia. RKUHP saat ini, kata dia, membuat pers di Indonesia tidak lagi bisa memainkan peran sebagai kekuatan cek and balance.

"Kekuatan yang bisa memberitakan hal-hal yang memang perlu diperhatikan oleh Pemerintah termasuk di dalam menyampaikan kritik-kritik kepada pemerintah." ujarnya.

"Karena itu, sangat sayang sekali kalau sejauh ini proses RKUHP itu tidak melibatkan masyarakat sipil, tidak melibatkan pers," ujar Azyumardi.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Yadi Hendriana menjelaskan, pada pembahasan 2019 lalu, Dewan Pers pernah memberikan pandangan untuk pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers.

Namun bukannya dihilangkan, pasal-pasal tersebut masih tetap ada dan ditambah pasal-pasal lainnya yang mengancam kebebasan pers.

 

"Dewan Pers tidak lagi diajak untuk membahas RKUHP, walaupun dulu pernah. Kita berharap pemerintah dan DPR agar kembali mengkaji pasal pasal itu dan melihat kembali dengan mengundang stakeholder atau pemangku kepentingan terkait," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement