REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti membandingkan keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. UU PUB dapat dikatakan cukup jauh tertinggal dibandingkan UU Pengelolaan Zakat.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," ujar pada webinar bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi" yang dipantau di kanal YouTube di Jakarta, Sabtu (8/7/2022).
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
"Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada 1960 belum mengangkat aspek akuntabilitas," ujarnya.
Karena itu, ia berpandangan pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan. "Jadi teman-teman yang berkegiatan di sektor itu merasa sedih. Gara-gara nira setitik rusak susu sebelanga," ujarnya.
Ia menyarankan pemerintah agar tidak hanya sekadar mencabut izin sebuah filantropi. Namun, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi undang-undang.
Karena itu, ia mendorong pemerintah dan DPR RI segera merevisi Undang-Undang (UU) tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan. "Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," kata Bivitri.
Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bersama sejumlah pihak mengaku sudah pernah mendorong revisi undang-undang tersebut. Apalagi, Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang sudah cukup lama sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini.
Akan tetapi, katanya, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas. "Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," kata Bivitri.
Tidak hanya revisi undang-undang, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.