REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memaparkan syarat-syarat apabila ingin menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian sebuah perkara. Bareskrim Polri menyatakan, persyaratan formil dan materil harus dipenuhi dalam penerapan keadilan restoratif.
Analis Kebijakan Madya Bidang Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar (Kombes) Polisi Pitra A Ratulangi mengatakan, dalam menerapkan keadilan restoratif, polisi mengacu pada Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative Justice. Untuk syarat materil, ketika akan menerapkan keadilan restoratif, tidak boleh menimbulkan keresahan atau penolakan di tengah masyarakat, dan tidak boleh berdampak pada konflik sosial, termasuk perkara yang berpotensi memecah belah bangsa.
Tidak hanya itu, penerapan keadilan restoratif juga tidak boleh diterapkan pada kasus radikalisme dan separatisme, tetapi pelaku kejahatan yang berulang atau residivis. Pitra menyebutkan, sejumlah perkara tidak boleh diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
"Tindak pidana terorisme, korupsi, dan tindak pidana terhadap keamanan negara tidak boleh ditangani melalui mekanisme keadilan restoratif di kepolisian," katanya pada diskusi bertajuk Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Ia menyebutkan, terdapat syarat khusus dalam penanganan perkara narkotika melalui mekanisme keadilan restoratif. Dalam implementasinya, polisi fokus pada korban dan pecandu.
Namun, apabila tersangka atau terdakwa adalah sindikat jaringan narkoba atau pengedar, mekanisme keadilan restoratif tidak bisa diterapkan. Terakhir, salah satu poin penting penerapan keadilan restoratif kasus narkotika ialah pelaku atau tersangka yang merupakan korban atau pecandu harus bersedia bekerja sama dengan penyidik untuk mengungkap jaringan narkoba.
Sementara itu, Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Suharto mengingatkan semua pihak bahwa penerapan keadilan restoratif harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. "Harus hati-hati karena asasnya pidana itu ada keterlibatan negara," kata dia.
Ia mengkhawatirkan dalam penerapan keadilan restoratif, negara terlalu bersifat perdata yang hakikatnya damai menyelesaikan sengketa. Padahal, dalam hukum pidana, damai tidak menyelesaikan sengketa karena peran negara ialah menjaga ketertiban umum.
Karena itu, ujar dia, pembuat undang-undang dalam hal ini KUHP membedakan delik umum dan delik aduan. Dalam delik aduan, pencabutan tuntutan masih bisa dilakukan selama 90 hari.
Sementara, apabila perkara tersebut merupakan delik umum, tidak ada upaya pencabutan perkara. Hanya saja, bila terjadi perdamaian antara korban dan terdakwa serta harus diselesaikan melalui pengadilan, hakim bisa mempertimbangkan menjadi sesuatu yang meringankan.