REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sastrawan yang dikenal serba bisa, Putu Wijaya membacakan naskah monolog “Kemerdekaan” dalam kegiatan Malam Sastra yang digelar di panggung terbuka Kantor Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Jakarta Timur, Sabtu (2/7/2022) malam. Penampilannya ini juga disertai dengan sangkar burung perkutut milik seorang juragan tua.
Sastrawan senior yang sudah berusia 78 tahun masih tampak semangat dalam membawakan monolognya, sehingga para penonton pun terhanyut dalam ceritanya. Dengan suaranya yang mulai serak, dia pun mulai bercerita,
“Seorang juragan perkutut yang sudah sangat tua, ingin memberikan hadiah kepada burung perkututnya yang sudah puluhan tahun bekerja dengan dia,” ucap Putu.
Monolog ini berkisah tentang seorang juragan tua yang memiliki 200 juta burung perkutut yang disimpannya di dalam sangkar. Pada suatu hari, juragan itu memberikan hadiah kepada burung perkutut yang paling setia yang berupa kemerdekaan. Lalu, juragan itu pun membuka sangkar burung perkututnya dan berkata,
“Lihatlah itu langit biru, itulah kemerdekaan, itulah yang selalu dikatakan oleh para mahasiswa yang mendemonstrasi di jalan, itulah yang dikatakan oleh para pemimpin yang berkata-kata dengan bijak di atas podium, itulah yang diceritakan oleh buku-buku. Aku berikan itu semua kepada kamu sekarang, bentangkan sayapmu dan terbangkan lah ke langit, ambillah kemerdekaan itu.”
Tapi, sang burung perkutut itu malah ketakutan karena hidupnya pasti berubah, dan dia tidak suka dengan itu. Hidupnya yang sekarang baginya malah lebih nikmat karena segala sesuatu telah siap, tidak ada bahaya yang menganggu, semuanya nyaman baginya.
Sang juragan tua pun marah karena ketololan dari burung perkututnya karena tidak mau menerima hadiah baiknya itu. Bahkan, dia mengancam untuk membunuh burungnya jika tidak mau pergi. Akhir dari kemarahannya itu membuat burung perkututnya tadi sekarat karena dipaksa untuk keluar dari sangkar.
“Tiba-tiba burung itu mengepakkan sayapnya lalu terbang. Tapi dia tidak terbang ke langit, dia menambrakkan dirinya ke atas sangkarnya lalu jatuh, tidak bangun lagi, mati,” ujar Putu saat menceritakannya.
Kemudian, lanjut Putu, 200 juta burung perkutut milik orang tua itu berteriak dengan sedih, “Kurr..kutekuk kuk kuk kuk..” Mereka sangat sedih ditinggalkan oleh kawannya yang mati, “Kurr..kutekuk kuk kuk kuk....,” bunyi ini pun ikut disuarakan para penonton yang khusyu mendengarkan cerita Putu.
Hingga akhirnya, sang juragan tua sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa diberikan kepada orang yang memang bisa menghargai dan mengerti kemerdekaan yang sebenarnya. Juragan itu berkata, “Baru hari ini saya tahu bahwa kemerdekaan ada yang tidak membebaskan, baru ini saya tahu ada kemerdekaan yang membunuh.”
Pada akhirnya, sang juragan mengajarkan kepada seluruh burung perkututnya yang masih hidup untuk mengerti terhadap kebebasan yang bisa mereka nikmati. “Aku harus mengajarkan mereka, kemerdekaan tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak mengerti, kemerdekaan harus dipelajari, kemerdekaan harus dibahas, kemerdekaan harus direnungkan, baru bisa mempergunakannya, kalau tidak dia akan membunuh,” kata juragan tua itu.
Tak lama, juragan itu pun membuka semua sangkar burung perkututnya. Sebanyak 200 juta burung keluar dari sangkar dan mengambil kebebasan dengan cara mereka sendiri, termasuk burung-burung perkutut yang pura-pura mati tadi.
Mereka semua mendapat kemerdekaannya setelah juragan itu memberi pelajaran. “Pelajarilah kemerdekaan itu, renungkan kemerdekaan itu di langit biru. Ke sanalah kamu akan pergi. Setiap ada kesempatan ambil, setiap ada peluang ambil, tapi manfaatkan sebaik-baiknya. Renungkan. Jangan cuma melamun, jangan cuma ngentut, jangan cuma berak, renungkan kemerdekaan itu baru kau bisa memakainya.”
Dalam ceritanya ini, Putu Wijaya memberikan kritik kepada orang-orang yang masih ragu untuk merdeka dan bebas mengekspresikan dirinya dalam hidup. Hakikat dari kemerdekaan itu harusnya datang dari kesadaran diri sendiri. Setiap ada peluang, maka memanfaatkanlah dengan sebaik-baiknya.