Senin 27 Jun 2022 04:10 WIB

Soal Labelisasi BPA, Komisioner KPPU Sarankan Pengawasan Ketat

Labelisasi BPA untuk galon isi ulang masih menuai pro dan kontra

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Air minum dalam kemasan galon. Labelisasi BPA untuk galon isi ulang masih menuai pro dan kontra
Foto: Istimewa
Air minum dalam kemasan galon. Labelisasi BPA untuk galon isi ulang masih menuai pro dan kontra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rencana pelabelan Bisfenol A (BPA) terhadap kemasan galon guna ulang mendapat respons beragam. Salah satunya dari Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan.

Chandra mengatakan secara pribadi tidak setuju ada pelabelan Bisfenol A (BPA) terhadap kemasan galon guna ulang. Alasannya menurut Chandra adalah pelabelan BPA itu sama dengan menyerahkan pengawasan kepada masyarakat. 

Baca Juga

“Kalau saya pribadi tidak setuju ada pelabelan BPA. Saya lebih setuju adanya pengawasan yang harus dilakukan oleh BPOM dengan membuat sistem pengawasan melekat pada pabrik,” ujarnya.  

Dia beralasan pelabelan BPA itu sama dengan menyerahkan pengawasan kepada masyarakat. “Hal ini tidak boleh, karena pengetahuan masyarakat yang heterogen dan masyarakat tidak punya tools yang dapat mendeteksi kadar BPA,” katanya. 

Dia mengakui jika BPA itu berbahaya kalau melewati batas ambang tertentu.  “Tetapi, BPA kan tidak hanya ada di minuman galon isi ulang. Yang sangat penting itu ya pengawasan, bukan sekadar label,” ucapnya. 

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga pakar hukum persaingan usaha, Prof Ningrum Natasya Sirait, mengatakan keputusan mengeluarkan satu regulasi untuk mengatur suatu industri seperti Peraturan BPOM yang mewacanakan pelabelan BPA terhadap galon guna ulang harus melalui competition checklist. Artinya, regulasi itu harus memikirkan juga dampaknya terhadap sisi persaingan usahanya atau competition. 

Menurutnya, semua bentuk perangkat hukum seperti perizinan dan juga regulasi yang berdampak terhadap perkembangan perusahaan, itu bisa menghambat keinginan perusahaan baru lain yang sejenis untuk berinvestasi di Indonesia. 

“Jadi, peraturan dalam konteks apapun harus melalui competition checklist, sehingga tidak menjadi artificial barrier yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat,” ujarnya. 

Dia mengatakan dalam artificial barrier ini suka sekali ada regulasi-regulasi yang menjadikan orang ada beban untuk dia masuk ke dalam satu pasar. Karenanya, semakin rendah derajat artificial barrier, semakin tinggi share terhadap output industri. 

“Apalagi level playing field yang fair itu dijamin oleh Undang-Undang. Oleh sebab itu, artificial barrier yang mungkin saja berasal dari peraturan yang diciptakan sebisa mungkin harus dihindari. Jadi, jika ingin membuat aturan main yang baru tentang apa saja, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dulu dengan stakeholders lainnya dengan membuat kajian bersama dan mengevaluasi kebijakan yang mau dibuat,” kata dia.

Sebab, menurutnya, dari kacamata persaingan usaha, orang-orang berbisnis itu akan menghitung sense by sense untuk melihat apakah bisa memenangkan pasar atau tidak. Semuanya akan dihitung apakah itu dampak dari regulasi, perkembangan zaman, dan lain-lain yang bisa berdampak terhadap usaha mereka.  

Dia mencontohkan seperti kebijakan BPOM terkait pelabelan “berpotensi mengandung BPA” pada galon guna ulang. Menurutnya, kebijakan ini jelas akan menaikkan biaya dari industri yang menjual galon guna ulang.  “Peraturan ini jelas akan menjadi satu level beban yang akan dihadapi pelaku usaha yang memproduksi air kemasan galon guna ulang,” tuturnya. 

Mengapa kebijakan BPOM ini bisa terjadi, menurut Ningrum, itu karena berbagai lembaga dan kementerian belum banyak dibekali dengan apa yang disebut dengan competition checklist. 

“Akibatnya, peraturan-peraturan itu akan menjadi beban bagi industri, dan akan berdampak kepada daya saing suatu perusahaan karena dia memerlukan biaya produksi ini dan itu. Belum lagi bertanding soal iklan,” ucapnya. 

Dia mengatakan membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatannya itu tidak salah. Tapi, lanjutnya, dampak peraturannya juga harus mempertimbangkan sisi persaingan usaha yang dimunculkannya.

“Dalam rangka kesehatan boleh-boleh saja untuk jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Tetapi, tetap harus dilihat juga dampaknya terhadap persaingan usaha,” katanya sembari menyarankan agar lembaga-lembaga instansi negara seperti BPOM, harus dibekali dengan competition checklist itu.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement