REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Prof Marcus Priyo Gunarto menganalisa kasus PT Titan Infra Energy yang kini ditangani Bareskrim Polri. Dia memandang, kasus itu seharusnya tidak bisa diusut kembali.
Pasalnya, dalam kasus Titan, polisi telah menerbitkan SP 3 untuk kasus pidana dengan tempus dan locus delicti yang sama. Sehingga, menurutnya, perkara ini tidak bisa diusut lagi.
"Dalam konteks ini, bila perkaranya sama, orangnya, locus dan tempus-nya sama, maka pengertiannya adalah perkara yang sama. Karena itu, kasus ini tidak bisa disidik kembali," kata Marcus dalam keterangannya pada Senin (20/6).
Marcus menerangkan, tujuan penyidikan adalah menemukan alat bukti, membuat terang perkara, dan menentukan tersangka. Pengumpulan bukti itu, lanjut dia, harus dilakukan secara sah sesuai rambu hukum yang berlaku. Misalnya, polisi harus menemukan dua alat bukti.
"Dalam penyidikan polisi harus menemukan bukti bukti setiap unsur delik pidana. Bila unsur-unsur delik pidana itu tidak ditemukan, maka penyidikan harus dihentikan dengan menerbitkan SP3," ujar Ketua Departemen Pidana FH UGM ini.
Oleh karena itu, Marcus menyebut, bila kepolisian membuka kembali kasus itu maka polisi harus memohonkan praperadilan. Hal itu menurutnya sesuai Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.
"Hakimlah yang akan memutuskan apakah perkara tersebut layak dibuka kembali," ucap Marcus.
Diketahui, sidang permohonan praperadilan PT Titan Infra Energy terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang putusan praperadilan sendiri akan diagendakan pada Selasa sore (21/6/2022).
PT Titan Infra Energy mengajukan, permohonan praperadilan lantaran tindakan polisi telah kembali membuka kasus yang sebelumnya. Padahal, telah dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan SP3 atas nama Titan pada 4 Oktober 2021 pada kasus sebelumnya itu.