Jumat 17 Jun 2022 10:45 WIB

Ekonom: Kegaduhan Investasi Telkomsel di GoTo Lebih Banyak Nuansa Politik

Ekonom INDEF menyebut benturan kepentingan investasi Telkomsel di GoTo terlihat jelas

Investasi saham Telkomsel di GoTo dipermasalahkan.
Foto: telkomsel
Investasi saham Telkomsel di GoTo dipermasalahkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai kegaduhan yang terjadi pada investasi Telkomsel di GoTo lebih banyak nuansa politik dibandingkan bisnis. Jika kita melihat secara keseluruhan investasi yang dilakukan Telkomsel di GoTo, dikatakan Nailul merupakan keputusan bisnis biasa yang dilakukan sebuah korporate ke perusahaan digital.

Nailul berkata, hingga kini ia belum menemukan bukti yang jelas kaitan benturan kepentingan investasi Telkomsel di GoTo. Benturan kepentingan dinilai Nailul memiliki spektrum yang sangat luas. Tidak hanya sekadar dari keterikatan hubungan keluarga atau dekat dengan siapa.

Jika ingin dikaitkan dengan konflik kepentingan, menurut nurul semua investasi perusahaan BUMN dikaitkan dengan konflik kepentingan. Namun saat ini konflik kepentingan tersebut hanya dikaitkan Telkomsel dengan GoTo.

Padahal perusahaan plat merah yang berinvestasi di GoTo tak hanya GoTo semata. Bahkan yang berinvestasi di GoTo juga bukan perusahaan BUMN saja. Tetapi ada perusahaan swasta Nasional dan ventur capital multi Nasional.

"Sejatinya kegaduhan dalam investasi Telkomsel di GoTo lebih banyak memiliki tujuan untuk menggoyang management Telkom," kata Nailul. Seperti perusahaan telekomunikasi lainnya, menurut Nailul, Telkom dan Telkomsel memiliki kepentingan berinvestasi di perusahaan digital. "Karena bisnis perusahaan telekomunikasi saat ini berkaitan erat dengan ekonomi digital. Mereka saling melengkapi," ucap Nailul.

Saat ini menurut Nailul, potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar potensinya. Ini dapat dilihat dari tingginya minta investor untuk masuk ke sektor digital Nasional. Bahkan SingTel Group juga tengah masuk ke bank digital di Indonesia.

"Karena hanya melihat dari sisi ekonominya saja maka saya masih melihat keputusan investasi yang dilakukan Telkomsel di GoTo murni bisnis," kata Nailul.

Bahkan menurut dia, sinergi bisnis bisa dioptimalkan dengan masuknya Telkomsel di GoTo.  Dan tentu investasi Telkomsel di GoTo juga melalui pengawasan SingTel, sehingga semua proses GCG dan risk management sudah dijalankan dengan baik. "Apalagi Telkom sebagai BUMN dan perusahaan publik sangat menjunjung tinggi GCG dan risk management," kata Nailul.

Mengenai laporan keuangan yang dinilai beberapa pihak merugikan Telkom sebagai BUMN, dinilai Nailul sebagai bentuk kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pasar modal dan metode akutansi pencatatan. Yang dicatatkan Telkom dilaporan keuangan dinilai Nailul masih berupa potensial. Selama saham GoTo yang dipegang oleh Telkomsel masih belum dijual, belum bisa kita mengatakan untung atau rugi.

"Karena metode pencatatan laporan keuangan harus menggunakan mark to market harga terakhir di bursa. Jika menggunakan acuan harga saham saat ini, pasti potensial gain buat Telkom Group," kata Nailul. Ia berkata, pada laporan keuangan Desember 2021 ada potensial gain tidak ada yang mempermasalahkan. Investasi Telkomsel di GoTo di harga Rp 270.

"Jadi menggunakan harga sekarang Telkom berpotensi untung. Sehingga potensi naik atau turunnya investasi Telkomsel di GoTo tergantung periode pencatatannya dan harga saham saat dicatatkan," ucap Nailul.

Agar kegaduhan investasi perusahaan BUMN di perusahaan digital tidak terjadi lagi, Nailul berharap perlu adanya peningkatan lisrasi masyarakat terhadap pasar modal dan pencatatan laporan keuangan. Saat ini edukasi masyarakat terhadap pasar modal dan pencatatan laporan keuangan masih kurang.

Diakui Nailul memang ada beberapa pihak yang sudah menjelaskan mengenai pasar modal dan PSAK. Namun penjelasannya belum mendalam dan masih tendensius ke arah politik dengan mengarahkan ke faktor benturan kepentingan.

Faktor benturan kepentingan yang memiliki hubungan keluarga menurut Nailul perlu dibuktikan. Jika benturan kepentingan dikaitkan dengan potensi lost, ekonom ini menilai tidak tepat. Agar dikemudian hari investasi minim benturan kepentingan, Nailul meminta agar OJK  memperkuat aturan mengenai business judgment rule. Aturan yang ada saat ini masih terlalu umum dan multi tafsir.

"Regulasi yang ada di OJK maupun di perusahaan BUMN diperkuat saja. Sebab potensi ekonomi digital masih bisa tumbuh dan banyak perusahaan digital membutuhkan angel investor dari perusahaan BUMN," kata Nailul.

Jangan sampai, kata Nailul, kegaduhan ini membuat perusahaan BUMN enggan untuk investasi di start up nasional. "Untuk memperbesar ekonomi digital perlu dukungan semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat dan perusahaan BUMN," ucap Nailul mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement