Jumat 17 Jun 2022 03:03 WIB

Ketua PBHI Sebut UU PSDN untuk Pertahanan Banyak Masalah Substansial

Setidaknya ada 13 pasal yang bermasalah di UU PSDN Pertahanan Negara.

Diskusi telaah kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi
Foto: istimewa/doc humas
Diskusi telaah kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua PBHI Nasional Julius  Ibrani menilai UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional ( PSDN) untuk Pertahanan Negara mengandung banyak masalah secara substansi. Setidaknya ada 13 pasal yang bermasalah dalam UU ini, terutama nuansa pelanggaran HAM.

"Melalui UU ini memungkinkan penjagaan proyek strategis negara nantinya akan dijaga oleh Komcad. Tugas ini tentu tidak ada relevansinya dengan militer, hal ini membuat militer akan menguasai semua lini sektor sehingga bisa berlaku sewenang-wenang dalam kekuasaan,”kata Julius, seperti didampaikan dalam pers rilis, Kamis (16/6/2022).

Hal ini disampaikan Julius Ibrani pada acara telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi" Kerjasama PBHI Lampung dan IMPARSIAL, Kamis (16/6).

Dipaparkannya, UU PSDN ini bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurutnya, UU ini dibahas dan disahksn dalam waktu yang cepat, tanpa partisipasi publik yang  luas. "UU ini juga tidak menghormati prinsip kebebasan berpikir,  kebebasan beragama,  berkeyakinan karena sifatnya yang memaksa dengan penghukuman,” paparnya.

Akademisi yang juga  Dosen FH UNILA, Dr. Budiyono menilai pasal-pasal  dalam UU PSDN bisa disalahgunakan oleh negara. Hal ini karena UU ini bersifat multitafsir.

"Seharusnya Negara saat ini fokus untuk memperkuat sistem alutsista negara dibanding melatih sipil dengan kemampuan militer. Karena penyelesaian menggunakan cara-cara militer atau kekerasan sudah bukan saatnya lagi,” papar Budiono.

Wakil Gubernur FH UNILA, Desy Putri Aldina  memberikan catatan khusus Pasal 4 ayat 2 UU PSDN. Menurutnya, negara tidak menjelaskan ancaman secara jelas sehingga berpotensi terjadinya multitafsir. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen saja konflik sudah banyak sekali terjadi, apalagi dibekali dengan keterampilan militer.

"Ketika warga sipil dimiliterisasi maka hal tersebut akan menjadi ancaman di daerah-daerah yang rawan konflik sehingga konflik horizontal akan sering terjadi,” kata Desy.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Al Araf  yang menilai UU ini bersifat memaksa. Warga negara yang tidak ikut mobilisasi dapat dipidana dengan kurungan 4 tahun. “Undang-undang ini memaksa dan tidak memberi ruang kebebasan untuk warga negara,” kata Al Araf.

Sistem pertahanan dan keamanan negara kita saat ini sangat rapuh, bahkan kondisi alutsista Indonesia hanya 50 persen yang layak pakai. Ini berdasar buku bertahanan yang diterbitkan oleh Kementrian Pertahanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement