Jumat 15 Apr 2022 02:39 WIB

UU PSDN Dinilai Antitesis Negara Hukum yang Demokratis

UU PSDN disebut akan menguatkan militerisme.

Kegiatan FGD dan Media Briefing Telaah Kritis atas UU No 23/2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan: jelang Putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/4/2022)
Foto: istimewa/doc humas
Kegiatan FGD dan Media Briefing Telaah Kritis atas UU No 23/2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan: jelang Putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/4/2022)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar HAM dan Dosen FH Universitas Gajah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan secara politik hukum UU Nomer 23 Tahun 2019 Tentang  Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN) merupakan anti tesis terhadap negara hukum yang demokratis. 

"Dan tanda-tandanya pendekatan politik hukum itu akan menguatkan militerisme dan politik legislasi asal suka-suka,” kata Herlambang, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id.

Hal ini disampaikan Herlambang dalam FGD dan media briefing yang  diselenggarakan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta bekerjasama dengan Imparsial, Kamis (14/4/2022). Kajian ini membedah UU PSDN untuk Pertahanan Negara dalam prespektif Politik, Hukum dan HAM.

UU PSDN ini, menurut Herlambang, adalah menu pesta fasisme. Menu ini mensubordinasi hak-hak warga negara. Menurutnya, elit tidak punya imajinasi negara ke depan, yang menghormati HAM. Dan UU PSDN ini akan melanggengkan militeristisme.

Dosen FH UGM lainnya, Rikardo Simarmata  juga  menilai UU PSDN ini tidak menggunakan rule of law yang baik. Kewenangan aturan sumber daya alam untuk kepentingan pertahanan dan perang ini konsepnya tidak  kuat. Selain karena dasar hukumnya yang  tidak kuat juga karena landasan fundamentalnya juga bermasalah.

Ketua Centra Initiative, Al Araf melihat pentinya UU PSDN ini untuk digugat. “Karena ada hak kita sebagai warga negara yang diambil secara paksa oleh negara dan dibarengi dengan ancaman pidana,” ungkap AL Araf.

Al Araf menyarankan sebaiknya anggaran pertahanan di fokuskan untuk modernisasi alutsista dan  bukan untuk komponen cadangan. Alasannya karena kondisi komponen utama, khususnya alutsista masih terbatas dan memprihatinkan. "Jadi kalau negara ada anggaran sebaiknya digunakan untuk  membangun komponen utama yakni TNI bukan membentuk komponen cadangan,” ungkapnya.

Di beberapa negara, menurutnya, komponen cadangan  hanya mengatur sumber daya manusia. Bukan sumber daya alam dan buatan, sehingga tidak perlu mengatur komponen sumber daya alam dan buatan, dalam UU ini. "UU ini masih mengandung subtansi bermasalah yang mengancam hukum, HAM dan keamanan,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement