Rabu 15 Jun 2022 08:32 WIB

Pembatalan Tarif Borobudur Perlu Diikuti Konsep Konservasi yang Konkret

Keputusan membatalkan wacana kenaikan tarif Borobudur dinilai tepat.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengapresiasi keputusan pembatalan kenaikan harga tiket Borobudur. Kendati demikian, semangat menjaga Borobudur sebagai warisan budaya dunia harus diimbangi dengan kematangan konsep konservasinya.
Foto: Istimewa
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengapresiasi keputusan pembatalan kenaikan harga tiket Borobudur. Kendati demikian, semangat menjaga Borobudur sebagai warisan budaya dunia harus diimbangi dengan kematangan konsep konservasinya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan rencana kenaikan tarif naik Candi Borobudur bagi wisatawan lokal ataupun asing dinilai tepat. Kendati demikian, semangat menjaga Borobudur sebagai warisan budaya dunia harus diimbangi dengan kematangan konsep konservasinya.

“Kami tentu sangat mengapresiasi langkah tegas Presiden Jokowi yang membatalkan wacana tarif naik Candi Borobudur yang sempat dilontarkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu. Kami yakin ada banyak cara untuk menjaga kelestarian candi alih-alih memasang tarif tinggi bagi wisatawan yang ingin naik ke stupa Borobudur,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Rabu (15/6/2022). 

Baca Juga

Huda mengatakan, upaya konservasi Candi Borobudur memang membutuhkan langkah nyata. Usia bangunan yang mencapai ribuan tahun dengan tingkat kunjungan yang begitu tinggi harus disikapi dengan kebijakan tegas. Namun ketegasan itu bukan berarti dilakukan dengan memasang tarif tinggi bagi siapa saja yang ingin naik Candi Borobodur. 

“Tidak ada jaminan jika tarif tinggi akan menurunkan ancaman kerusakan Candi Borobudur. Harusnya ketegasan melindungi Borobudur diterjemahkan dengan pembatasan jumlah pengunjung sesuai kajian Balai Konservasi Borobudur,” tegasnya. 

Politikus PKB ini menegaskan kebijakan pengenaan tarif sebesar Rp 750 ribu bagi wisatawan lokal dan 100 dolar Amerika bagi wisatawan asing untuk naik Candi Borobudur justru akan menciptakan diskriminasi sosial. Nantinya Borobudur hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berduit saja. Bahkan bagi umat Budha kebijakan tarif tinggi tersebut akan mengancam kebebasan mereka untuk menjalankan ibadah di Kawasan Candi Borobudur. 

“Maka keputusan Presiden Jokowi untuk membatalkan wacana tarif untuk naik Candi Borobudur dengan aspirasi mayoritas masyarakat,” katanya.

Kendati demikian, kata Huda, pembatalan wacana tarif naik ke Candi Borobudur harus diimbangi dengan kejelasan konsep konservasi. Menurutnya, pemerintah harus secara tegas menyampaikan format kebijakan yang di satu sisi melindungi bangunan candi dan di sisi lain tetap menjaga potensi kunjungan wisatawan ke Borobudur. 

“Dari hasil rapat terbatas kabinet telah disampaikan jika nantinya ada pembatasan untuk bisa naik ke Candi Borobudur. Namun di situ belum dijelaskan berapa jumlah wisatawan yang boleh naik dalam sehari, bagaimana mekanisme pembatasan dilakukan, hingga bagaimana konsep melayani wisatawan yang tidak bisa naik ke Candi Borobudur,” katanya. 

Huda berharap, agar para pemangku kepentingan Candi Borobudur segera duduk bersama merumuskan pengelolaan destinasi wisata favorit ini dengan seksama. Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Boko (Persero) hingga pemerintah daerah Jawa Tengah perlu segera bertemu untuk memastikan sisi komersil pariwisata tetap sejalan dengan konsep perlindungan salah satu keajaiban dunia tersebut. 

“Kami dari Komisi X DPR akan terus mengawal proses tersebut sehingga kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah bisa tetap menjaga kelestarian Borobudur dan menjaga kepentingan pelaku wisata di Kawasan tersebut,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement