REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang PTUN Jakarta Timur yang mengadili gugatan APINDO DKI tentang Keputusan Gubernur DKI terkait Upah Minimum Propinsi (UMP) yang tidak merujuk pada PP 36/2021 tentang Pengupahan menghadirkan Peneliti Kebijakan Publik dari CIDES (Center for Information and Development Studies) Jumhur Hidayat. Dalam keterangan di hadapan Majlis Hakim, Jumhur menjelaskan bahwa UMP adalah instrumen penting dalam mewujudkan keadilan sosial ekonomi.
"Dalam ASEAN 5, Indonesia yang terendah dalam persentase pembagian pendapatan untuk buruhnya yaitu hanya 39.9% dan pemilik modal mendapat 60.1% pada 2019. Dengan PP 36 persentase ini akan semakin kecil dan artinya buruh akan semakin menderita serta ketimpangan semakin menganga," jelas Jumhur, tadi pagi (8/6/2022).
Suasana sidang yang disesaki oleh pengunjung bahkan hingga ke luar ruang sidang itu beberapa kali ditertibkan Ketua Majelis Hakim bahkan ada yang diusir karena berteriak mendukung penjelasan Jumhur.
Terkait dengan kelayakan upah di Indonesia, Jumhur malah membandingkam dengan jaman kolonial. "Pada saat Bung Karno membacakan Pledoi hampir 100 tahun lalu, upah buruh per hari itu dapat membeli 6,5 Kg beras. Nah di Jabar, Jateng dan Jatim pada umumnya saat ini upah per harinya hanya mampu membeli 5,6 Kg beras saja bila harga beras Rp. 11.000/Kg. Artinya lebih buruk dibanding jaman kolonial. Bayangkan bagi yang tidak menerima upah, pasti hidupnya jauh lebih susah lagi," ucap Jumhur meyakinkan.
Ketika ditanya Ketua Majelis Hakim bagaimana peran pemerintah bila keinginan buruh dan pengusaha tidak sejalan, Jumhur Hidayat yang juga Ketua Umum DPP KSPSI itu menjawab bahwa tergantung memerintah mau memihak ke mana. "Harusnya kalau pemerintah berkhidmat kepada rakyat maka harus membela yang lemah yaitu kaum buruh sehingga keadilan sosial dapat terwujud.
Seperti diketahui bahwa Gubernur DKI Jakarta melalui Keputusan Gubernur No. 1517 tahun 2021 menaikkan UMP sebesat 5,1% karena tidak merujuk pada PP 36/2021. Nilai itu jauh di atas ketetapan yang diatur Pemerintah Pusat yaitu kurang dari 1%. Akibat Keputusan ini Gubernur DKI Jakarta digugat oleh APINDO DKI . Sementara beberapa serikat buruh/serikat pekerja mendaftarkan diri sebagai Terugugat Intervensi.