Kamis 02 Jun 2022 08:09 WIB

MK Koreksi Ketentuan Penunjukan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Provinsi

Pimpinan DPRD provinsi belum terbentuk, DPRD provinsi dipimpin pimpinan sementara

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 31/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. MK mengoreksi Pasal 112 ayat 4 mengenai peresmian ketua dan wakil ketua DPRD provinsi oleh keputusan menteri.
Foto: istimewa
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 31/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. MK mengoreksi Pasal 112 ayat 4 mengenai peresmian ketua dan wakil ketua DPRD provinsi oleh keputusan menteri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 31/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. MK mengoreksi Pasal 112 ayat 4 mengenai peresmian ketua dan wakil ketua DPRD provinsi oleh keputusan menteri.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam sidang pengucapan putusan secara daring, Selasa (31/5/2022).

Baca Juga

Pasal 112 ayat 1 menyebutkan, dalam hal pimpinan DPRD provinsi belum terbentuk, DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara. Kemudian ayat 2 menyatakan, pimpinan sementara DPRD provinsi terdiri atas satu orang ketua dan satu orang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD provinsi.

Pasal 112 ayat 3 menyebutkan, dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD provinsi. Lalu ayat 4 menyatakan, ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan menteri, dalam hal ini menteri dalam negeri (mendagri).

Dalam putusannya, MK memutus Pasal 112 ayat 4 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib ditindaklanjuti secara administratif sepanjang proses di internal partai politik dan DPRD telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Mahkamah berpendapat frasa "diresmikan dengan keputusan Menteri" bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

Tidak Dapat Diterima

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan terhadap enam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN), Selasa (31/5/2022). MK memutus keenam perkara tersebut, termasuk yang dimohonkan Busyro Muqoddas dkk, tak dapat diterima.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Hakim Konstitusi Aswanto yang bertindak sebagai ketua menggantikan Ketua MK Anwar Usman. Sidang pengucapan putusan hari ini dibacakan oleh delapan hakim konstitusi, tanpa Anwar Usman.

Kenam permohonan tersebut adalah  perkara nomor 39/PUU-XX/2022, 40/PUU-XX/2022, 47/PUU-XX/2022, 48/PUU-XX/2022, 53/PUU-XX/2022, serta 54/PUU-XX/2022. Perkara nomor 54/PUU-XX/2022 diajukan Muhammad Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia, Dwi Putri Cahyawati, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) diwakili Sekretaris Jenderal Rukka Sombolinggi, serta Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesi (Walhi) diwakili Ketua Pengurus Zenzi Suhadi dan Sekretaris M Ishlah.

Busyro dkk mengajukan permohonan uji formil UU IKN. Namun, perkara nomor 54/PUU-XX/2022 ini dinilai tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan di MK.

MK menyatakan, pengajuan uji formil oleh Busyro dkk sudah melewati tenggang waktu 45 hari, sedangkan pemohon mengajukan permohonan pada hari ke-46. 

Hal serupa juga terjadi pada perkara nomor 53/PUU-XX/2022 yang diajukan seorang guru bernama Anah Mardianah. Mahkamah berkesimpulan permohonan pemohon ini diajukan melewati tenggang waktu pengajuan.

Sementara empat perkara lainnya diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan. Namun, MK menilai permohonan pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan pemohon.

MK juga memutuskan perkara nomor 50/PUU-XX/2022 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta perkara nomor 41/PUU-XX/2022 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga tidak dapat diterima MK. 

Sementara, MK menetapkan empat perkara lainnya ditarik kembali oleh pemohon. Empat perkara ini antara lain, 2/PUU-XX/2022 mengenai uji materi UU Pilkada, 45/PUU-XX/2022 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, 46/PUU-XX/2022 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta 55/PUU-XX/2022 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement