Senin 23 May 2022 09:34 WIB

Cerita Hakim MK Saldi Isra Saat Demo Turunkan Soeharto

Tuntutan reformasi yang relevan dengan saat ini adalah perubahan UUD 1945.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ilham Tirta
Aksi Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta (19/05/1998), untuk melengserkan Presiden Soeharto. Ini dilakukan setelah peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 yang membuat seluruh masyarakat marah dan berduka.
Foto: Teguh Indra/Republika
Aksi Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta (19/05/1998), untuk melengserkan Presiden Soeharto. Ini dilakukan setelah peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 yang membuat seluruh masyarakat marah dan berduka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra punya kenangan tersendiri saat peristiwa reformasi. Ia bersama para mahasiswanya pernah berunjuk rasa menentang rezim Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Saldi mengungkapkan, 24 tahun lalu dirinya masih menjadi dosen muda di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Tugasnya saat itu membantu para mahasiswa bisa menyampaikan pemikiran tentang kondisi negara ketika itu, termasuk meneriakkan agar Presiden Soeharto lengser dari jabatannya.

Baca Juga

"Saya juga termasuk sedikit dari dosen yang bersama mahasiswa menyampaikan aspirasi jalanan ketika itu, karena melihat memang tidak ada pilihan lain. Saluran-saluran formal seolah-olah tidak merespons apa yang terjadi di masyarakat kala itu," kata Saldi dalam keterangan pers, Senin (23/5/2022).

Saldi mengamati, saat itu ada banyak tuntutan reformasi. Di antara yang cukup relevan didiskusikan saat ini salah satunya adalah perubahan UUD 1945 atau amendemen Konstitusi. Saldi memaparkan alasan kelompok reformis ketika itu menganggap bahwa UUD 1945 menjadi penting untuk memulai langkah awal melakukan reformasi.

"Kalau dibaca beberapa cuplikan pemikiran yang berkembang sekitar tahun itu, memang muncul satu ide besar yang mengatakan bahwa UUD 1945 telah memunculkan atau tidak dibuat desain yang memungkinkan terjadinya checks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita," ujar Saldi.

Saldi menerangkan, ada banyak catatan mengenai kelemahan UUD 1945. Di antaranya UUD 1945 terlalu lentur, terlalu fleksibel sehingga dengan mudahnya bisa ditafsirkan oleh pemegang kekuasaan sesuai dengan kemauannya sendiri. Contohnya, rezim orde lama memaknai demokrasi dalam UUD 1945 sebagai demokrasi terpimpin.

Selanjutnya pada rezim orde baru, demokrasi dimaknai sebagai demokrasi Pancasila, memberi simbol Pancasila, tapi pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh mereka yang berkuasa. "Karena itu dianggap bahwa Konstitusi harus dipikirkan kembali, direformasi sehingga bisa menampung apabila ketatanegaraan dilaksanakan, maka bangunan yang ada di Konstitusi itu sendiri bisa menciptakan mekanisme checks and balances," ucap Saldi.

Beberapa kali Saldi pernah mengatakan, UUD 1945 memang menyebut adanya kedaulatan rakyat, tetapi di dalamnya tidak eksplisit menyebut soal pemilu. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak ditemukan satu kata pun disebutkan mengenai pemilu secara eksplisit. Kalaupun ada pemilu, Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, Pemilu 1997, sebagai pemilu yang sebetulnya tidak muncul dari amanah eksplisit Konstitusi.

Namun, muncul dari undang-undang yang kemudian sudah didesain sedemikian rupa agar lembaga yang terbentuk dari hasil pemilu gampang dikooptasi. “Kita bisa baca misalnya, ide soal ada DPR yang anggotanya dipilih melalui pemilu, lalu ada yang diangkat sekian jumlah kursi, itu ada dalam undang-undang. Lalu kemudian MPR sebagai lembaga negara tertinggi saat itu, anggotanya terdiri dari anggota DPR dengan jumlah yang sama, ada yang diangkat kemudian. Sehingga kalau kita lakukan secara matematis, ketika itu mayoritas anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden, itu adalah tidak dipilih melalui pemilu,” kata Saldi.

Untuk itulah sekarang dalam UUD 1945 hasil perubahan, lanjut Saldi, disebutkan mengenai pemilu secara eksplisit, siapa yang akan dipilih, bagaimana cara memilihnya. Menurutnya, ini adalah salah satu substansinya, karena sulit bicara negara demokratis kalau kemudian pemilu tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pengaturan Konstitusi.

Persoalan berikutnya, sambung Saldi, kekuasaan Presiden Indonesia sangat dominan di masa lalu, baik masa orde lama dan orde baru di bawah UUD yang sama. Lalu kemudian ada usulan untuk memperkuat DPR, hingga terjadilah reformasi Konstitusi secara mendasar dan mengubah banyak hal.

“Apa yang diubah? Struktur lembaga legislatif diubah dalam UUD 1945 hasil perubahan. Tidak ada lagi lembaga negara tertinggi. Kekuasaan yudikatif juga diperbaiki, dulu hanya ada Mahkamah Agung, sekarang ada Mahkamah Konstitusi. Jadi, UUD 1945 hasil perubahan penataan yang sangat mendasar terhadap struktur ketatanegaraan. Itu salah satunya saja dari beberapa tuntutan reformasi,” kata Saldi.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement