REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik mengatakan, belum ada kesepakatan atau keputusan mengenai pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 dalam rapat konsinyering antara pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara pemilu. Kesepakatan dan keputusan akan diambil dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR yang dijadwalkan pada akhir Mei.
"Insha Allah akhir Mei, Insha Allah tidak ada halangan," ujar Idham saat dihubungi Republika, Ahad (15/5).
Dia mengatakan, rapat konsinyasi pada 13-14 Mei yang digelar tertutup hanya bersifat pendalaman dan membangun kesepahaman antara pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara pemilu. Sehingga, pada RDP nanti diharapkan semua pihak telah memahami rencana dan desain penyelenggaraan Pemilu 2024.
Idham juga enggan menjelaskan, terkait masukan terhadap durasi kampanye yang diperpendek dari 90 hari menjadi 75 hari. Menurut dia, pada RDP mendatang, pihaknya tetap memaparkan rencana dan desain penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah disusun KPU.
Dia menegaskan, RDP merupakan ruang KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah terhadap penyelenggaraan pemilu. Dia pun meningatkan, agar pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 bisa dimulai tepat waktu pada 14 Juni 2022, sedangkan sampai saat ini Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan, Program, dan Jadwal belum disepakati dan diundangka.
"Pada dasarnya KPU akan menyampaikan rancangan kebijakan yang KPU telah desain. RDP itu kan bersifat konsultatif jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi," kata Idham.
Di sisi lain, Anggota Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan sejumlah kesepahaman dari hasil konsinyering antara pihaknya bersama penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Salah satunya ialah anggaran untuk Pemilu 2024 sebesar Rp 76 triliun.
"Anggaran Pemilu 2024 yang InsyaAllah dapat dipersetujui sebesar Rp 76 triliun, yang akan dialokasikan mulai dari APBN 2022, 2023, dan 2024," ujar Rifqi lewat keterangannya, Sabtu (14/5/2022).
Selain itu, ada kesepahaman terkait masa kampanye yang diusulkan oleh KPU selama 90 hari. Namun, seluruh fraksi di Komisi II mengusulkan agar dipersingkat menjadi 75 hari dengan berbagai pertimbangan.
"Dengan catatan penting, pertama adalah perubahan mekanisme pengaturan barang dan jasa atau logistik pemilu yang lebih simpel, efisien, transparan, dan akuntabel," kata Rifqi.
Komisi II juga meminta kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk segera menyusun kodefikasi hukum acara pemilu. Hal ini tak hanya akan melibatkan pemerintah dan penyelenggara pemilu, melainkan juga Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Termasuk DPR RI akan bekerja semaksimal mungkin untuk mewujudkan kodefikasi hukum acara pemilu ini. Untuk memastikan waktu penyelesaian sengketa dan kepemiluan di Indonesia bisa tepat waktu dan tidak mengganggu proses-proses pelantikan dan periodesasi jabatan politik," ujar Rifqi
Kendati demikian, ia menjelaskan, hasil konsinyering tersebut belum merupakan keputusan resmi antara Komisi II, penyelenggara pemilu, dan pemerintah. Konsinyering merupakan forum tak formal untuk menyamakan pandangan terkait kontestasi mendatang.
"Konsinyering ini juga bukan agenda resmi yang keputusannya menjadi keputusan resmi bersama. Nanti keputusan resminya akan diambil dalam rapat dengar pendapat," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Mengenai durasi kampanye, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengatakan, pihaknya berkonsentrasi pada pengadaan dan distribusi logistik. Sementara, untuk memulai pengadaan dan distribusi logistik seperti surat suara, KPU menunggu penetapan daftar calon tetap (DCT) dan kampanye dimulai tiga hari setelah penetapan DCT.
"KPU yang jadi concern-nya pengadaan dan distribusi logistik. Kalau kampanye mau berapa durasi berapa hari saja enggak masalah bagi KPU. Tetapi ukuran utama kapan DCT ditetapkan," kata Hasyim.