Jumat 29 Apr 2022 04:29 WIB

Beda Pendapat Pemuda Adat dan MRP Soal Pemekaran Papua

Pemuda Adat Papua mendukung pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Skenario Pemekaran Papua
Foto:

Di sisi lain, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib telah meminta DPR untuk menunda pembahasan tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru Provinsi Papua. Yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah.

"Masyarakat minta supaya pemekaran itu dipending atau ditunda, sampai dengan ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya kami menyampaikan aspirasi kepada Wakil DPR RI, karena beliau sangat merespons aspirasi yang disampaikan Majelis Rakyat Papua," ujar Timotius di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/4/2022).

Adapun, aspirasi kedua adalah terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Namun, ia tak menyampaikan secara detail poin-poin apa saja yang disampaikan kepada Dasco terkait undang-undang tersebut.

"Oleh karenanya ini masalah yang sangat serius untuk di-pending, sampai pemerintah mencabut moratorium baru sekaligus," ujar Timotius.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid ikut mendampingi MRP menemui DPR untuk menyampaikan penolakan terkait pembentukan DOB Provinsi Papua. Pasalnya, jika prosesnya dipaksakan, hal tersebut merugikan hak dari orang asli Papua.

"Pertama adalah hak atas informasi tentang rencana pemekaran daerah otonomi baru itu untuk apa. Kedua adalah hak untuk dimintai konsultasi dan ketiga adalah hak untuk dimintai persetujuan," ujar Usman.

Ia menegaskan, tiga hak tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dan DPR selama proses pemekaran Provinsi Papua. Jika tidak, keduanya akan dinilai sebagai pihak yang melanggar konstitusi karena mengesampingkan hak orang asli Papua.

"Ini sangat penting bagi orang asli Papua sebagai bagian dari masyarakat hukum adat yang diakui dalam konstitusi, khususnya Pasal 18b," ujar Usman.

"Eskalasi akan justru dilanjutkan tanpa memberi informasi kepada masyarakat, tanpa meminta konsultasi dari masyarakat adat, dan tanpa meminta persetujuan mereka. Ini sangat penting dalam perspektif hak asasi manusia," sambungnya.

Jika pemekaran provinsi tetap dipaksakan, ia khawatir potensi terjadinya eskalasi yang semakin tinggi di Papua. Mengingat mayoritas masyarakat di sana tegas menolak pembentukan DOB.

"Sudah ada dua orang tewas akibat dari demonstrasi penolakan pemekaran baru, seperti di Yahukimo. Kita tidak ingin kalau ini dipaksakan akan kembali jatuh korban warga asli Papua," ujar Usman.

DPR sendiri telah menetapkan tiga rancangan undang-undang daerah otonomi baru Provinsi Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah sebagai usul inisiatif DPR. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sendiri menyampaikan, pihaknya belum menerima surat presdien (surpres) dari Joko Widodo untuk membahas ketiga RUU tersebut.

"Kita sudah komunikasikan, ini kan reses kita masih sampai tanggal 17 (Mei), kemudian kita belum tahu surpresnya kapan," ujar Dasco.

Ia menyampaikan, DPR menerima aspirasi dari MRP terkait rencana pemekaran Provinsi Papua. Terkait tiga RUU Provinsi Papua, ia akan mengkomunikasikannya dengan komisi terkait sambil menunggu hasil judicial review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ada tiga undang-undang yang saat ini sedang menunggu surpres, agar dapat ditunda pembahasannya sampai dengan hasil judicial review MK yang sudah enam kali menjalani sidang," ujar Dasco.

 

 

 

photo
Skenario Pemekaran Papua - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement