REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendorong kebijakan ekonomi maritim yang berdasarkan pada pendekatan sains.
Hal ini disampaikan Ketua Umum ICMI Arif Satria dalam Webinar Ramadhan ICMI bertajuk "Reorientasi Indonesia menuju Negeri Maritim, Indonesia Emas 2045" pada Rabu (27/4/2022). "Bangsa ini bangsa yang memerlukan optimisme kepercayaan diri dan berbasis pada sains," ujar Arif.
Arif menilai kebijakan maritim sebagai sektor strategis bangsa harus berpijak pada science based policy. Arif menyebut penguatan sains dan akurasi data menjadi kunci utama dalam memajukan ekonomi maritim Indonesia.
"Politik memang tidak bisa dihindari, cuma jangan sampai bias politik lebih dominan dari pendekatan sains. Kalau kebijakannya berbasis sains, insya Allah bisa lebih efektif dan dipertanggungjawabkan," ucap Arif.
ICMI, lanjut Arif, sangat berharap berharap pemerintahan Jokowi yang memiliki perhatian khusus ke sektor maritim dapat terus diperkuat dengan adanya pendekatan sains dan inovasi agar bisa menjadi sektor yang maju dan berdampak besar bagi perekonomian bangsa, bukan justru sebaliknya.
"Kalau politik terlalu dominan dalam pengambilan keputusan, maka yang terjadi seringkali ketidakefektifan atau kebijakan yang kurang pas," kata Arif.
Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Rokhmin Dahuri, menyampaikan ekonomi maritim merupakan kegiatan ekonomi yang berlansung di wilayah pesisir dan lautan dan kegiatan ekonomi di darat yang menggunakan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Menurut Rokhmin, Indonesia memiliki modal dasar yang lengkap dan sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, dan berdaulat.
"Sektor kemaritiman sangat potensial meningkatkan keunggulan kompetitif bangsa dan menjadi penggerak pembangunan nasional menuju Indonesia emas 2045," ujar Rokhmin.
Rokhmin menyebut Indonesia mempunyai pembangunan ekonomi maritim yang sangat besar yakni 1,4 triliun dolar AS per tahun dengan lapangan kerja sekitar 45 juta orang atau 30 persen total angkatan kerja.
Namun, ucap Rokhmin, potensi yang dimanfaatkan baru sekitar 15 persen total potensi hingga 2020. "Pada 2018, kontribusi ekonomi maritim bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen. Negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil sepeti Thailand, Korsel, Jepang Maladewa Norwegia, Islandia, kontribusinya sudah lebih dari 30 persen. Artinya, ruang pengembangan potensi kemaritiman masih terbuka lebar," lanjut Rokhmin.
Rokhmin memaparkan total estimasi nilai ekonomi sektor kelautan mencapai Rp 1.348 miliar dolar AS per tahun yang berasal dari 11 sektor seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, ESDM, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, sumber daya wilayah pulau kecil, sumber daya nonkonvensional, serta coastal forestry.
"Kita ambil contoh di bidang perikanan, Indonesia memiliki perikanan terbesar dunia, terutama perikanan budidaya sebesar 115 juta ton per tahun, tapi kita baru manfaatkan sekitar 19,5 persen," ungkap dia.