REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR Achmad Baidowi menilai, koalisi partai politik Islam sangat sulit terbentuk untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024. Bahkan, koalisi tersebut merupakan hal yang mustahil.
"Kemudian kami bisa memaklumi gagasan terbentuknya poros Islam itu sebenarnya utopia. Karena kalau dipaksakan seperti apa dan kalaupun kita mampu mendulang dukungan untuk capres di 2024 kumpul-kumpul ketemu angka 30,05 persen," ujar Baidowi dalam sebuah diskusi daring, Selasa (19/4).
Ia menjelaskan, total suara partai Islam dalam Pemilu 2019 hanya sebesar 30,05 persen. Bahkan, jumlah suara partai Islam di Pemilu 1999 yang merupakan salah satu kejayaan PPP hanya sebesar 38,8 persen.
"Karena konfigurasi masyarakat di Indonesia terdiri dari kalangan nasionalis dan agamis. Jadi bukan sesuatu yang mudah untuk misalkan mengatakan koalisi partai politik Islam," ujar Baidowi.
Jumlah pemilih yang terbatas tersebut, membuat partai-partai Islam saling merebut suara yang hanya sebesar 30,05 persen itu. Pasalnya, partai Islam tentu akan kesulitan mengambil suara dari ceruk pemilih nasionalis.
"Ini yang ingin saya katakan, memang partai Islam cenderung kompetisi antar sesamanya. PPP dan PDIP itu jelas berbeda irisannya, tidak mungkin orang nasionalis memilih PPP. Begitu sebaliknya santri tidak mungkin memilih PDIP," ujar Baidowi.
"Tidak ada partai yang naik tanpa common issue atau persepsi massa yang mendahului. Maka reproduksi isu positif dari dalam maupun isu negatif dari luar partai menjadi vital untuk kenaikan di 2024," sambungnya.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli menyorot partai-partai berbasis Islam yang elektabilitasnya sulit naik dalam beberapa Pemilu terakhir. Maka tak heran, jika mereka hanya akan menjadi pelengkap di 2024.
"Partai Islam dan partai berbasis massa Islam ya selalu diajak, bukan pemain utama yang mengajak, tapi diajak oleh partai-partai berbasis nasionalis," ujar Lili.
Partai-partai Islam saat ini, kata Lili, tak memiliki figur yang kuat untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden. Tokoh-tokoh yang ada di dalamnya belum sebanding dengan sosok yang biasa menempati posisi teratas dalam banyak hasil survei.
"Begitu pun juga dengan pencalonan (presiden), mereka akan diajak, bukan menjadi pemain utama. Itu catatannya," ujar Lili.