Senin 18 Apr 2022 18:06 WIB

PSHK: Revisi UU PPP Gagal Menyasar Perbaikan Tata Kelola Regulasi

PSHK menilai revisi UU PPP gagal menyasar perbaikan tata kelola regulasi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Baleg mengambil keputusan tingkat I atas revisi UU PPP dan akan disahkan dalam rapat paripurna mendatang, di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/4) malam.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Baleg mengambil keputusan tingkat I atas revisi UU PPP dan akan disahkan dalam rapat paripurna mendatang, di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/4) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) kontraproduktif dengan upaya menyelesaikan permasalahan tata kelola perundang-undangan. Mengingat saat ini, masih terdapat lima masalah tata kelola regulasi di Indonesia.

Pertama adalah perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan. Kedua, materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan dan terakhir adalah banyaknya regulasi.

Baca Juga

"Empat, masih lemahnya pelaksanaan monitoring dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan. Lima, kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja parsial," tulis PSHK lewat keterangan tertulisnya, Senin (18/4/2022).

Dari kelima permasalahan tersebut, pemerintah dan DPR terkesan hanya berfokus pada persoalan hiper-regulasi. Keduanya berpendapat bahwa permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan menambahkan metode omnibus.

Padahal, penggunaan metode omnibus dalam penyusunan undang-undang terbukti tidak menyelesaikan permasalahan regulasi yang bertumpuk. Berkaca kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Kosntitusi (MK).

"Keberadaan undang-undang omnibus tidak dapat mencegah kelahiran regulasi baru dalam jumlah banyak. Belasan peraturan turunan lahir sebagai amanat dari UU Cipta Kerja," tulis PSHK.

Selain itu, ketentuan tentang metode omnibus dalam revisi UU PPP juga tidak dapat digunakan sebagai justifikasi telah dilakukannya evaluasi dan perbaikan atas UU Cipta Kerja. Pasalnya, revisi UU PPP tak terdapat dalam amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Pemerintah seharusnya menyelesaikan terlebih dahulu persoalan kelembagaan dalam upaya mewujudkan perbaikan tata kelola peraturan perundang-undangan. Salah satunya dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan janji Presiden Joko Widodo.

"Untuk merealisasikan badan khusus di bidang pengelolaan regulasi, yang diharapkan dapat mengintegrasikan berbagai fungsi perihal tata kelola peraturan perundang-undangan dalam satu otoritas tersendiri," tulis PSHK.

Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menyepakati omnibus sebagai salah satu metode pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 64 Ayat 1 revisi UU PPP yang sudah dilakukan pengambilan keputusan tingkat I.

Dalam pasal tersebut, omnibus adalah metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan melakukan tiga hal. Pertama adalah materi muatan baru. Kedua, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama.

Terakhir adalah mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama. Kemudian, menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement