REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) adalah alat untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tak berpihak kepada kelompok buruh. Jika revisi UU PPP sudah disahkan, partainya bakal menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Partai Buruh bersama FSPMI dan KSPI akan melakukan judicial review terhadap revisi Undang-Undang PPP tersebut ke MK. Jangankan meminta dibahas omnibus law, revisi UU PPP pun akan kami judicial review, uji materi ke MK," ujar Said di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (7/2/2022).
Ia melihat, pembahasan revisi UU PPP kembali tak melibatkan partisipasi publik. Ini sama seperti yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah ketika membahas UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
"Undang-Undang PPP tersebut adalah pintu masuk bahwa omnibus law akan dilegalkan. Berarti pemerintah dan DPR itu tidak ada hati dan pikiran terhadap rakyat, karena sudah jelas semua stakeholder daripada masyarakat," ujar Said.
Jika pembahasan revisi UU PPP berlanjut dalam rangka perbaikan UU Cipta Kerja, ia mengeklaim bahwa jutaan buruh akan kembali melakukan mogok kerja. Sebab, regulasi sapu jagat tersebut adalah alat yang justru menihilkan hak-hak kelompok buruh.
"Jadi, pemogokan umum itu adalah setop produksi, sekali lagi setop produksi, jutaan buruh, kelompok tani, ojek online, dan buruh migran, PRT (pembantu rumah tangga) akan terlibat dalam pemogokan ini," ujar Said.
Badan Legislasi (Baleg) DPR telah memulai pembahasan revisi PPP dalam rangka perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Revisi UU PPP akan berkutat pada tiga poin.
"Materi muatannya tidak terlalu berbeda jauh, jadi ini hanya soal penegasan satu, menyangkut soal metode omnibus law," ujar Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dalam rapat pleno RUU PPP, Rabu (2/2/2022).
Baleg, kata Supratman, akan menampung pendapat dari hakim MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tak adanya metode omnibus dalam UU PPP. "Wajib kita untuk mempertimbangkan pendapat para, pendapat hukum dari masing-masing hakim Mahkamah Konstitusi, itu satu," ujarnya.
Kedua adalah terkait penjelasan penggunaan metode omnibu yang akan berimplikasi terhadap pasal terakhir di UU PPP. Baleg mengusulkan agar revisi menjadi satu-kesatuan yang tidak terpisahkan.
Terakhir adalah fungsi pengharmonisasian dan pemantauan yang diatur dalam UU 15/2020. Dalam undang-undang tersebut, DPR diberi ruang untuk melaksanakan tugas pemantauan ataupun pos legislative review.
"Sementara itu di pemerintah belum jelas, nah ini kita perjelas di dalam (RUU PPP). Itu poin-poin yang ada secara umum di dalam perubahan ini, nanti naskahnya akan segera kita bagi untuk kita bahas besok di tingkat Panja," ujar Supratman.