Ahad 03 Apr 2022 22:21 WIB

Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia tak Ditahan, Potret Buruk Keadilan

Evaluasi penyidikan kasus kerangkeng manusia harus dilakukan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Rabu (26/1/2022).
Foto: Antara/Oman
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Rabu (26/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengkritisi Kepolisian Daerah Sumatra Utara (Polda Sumut) yang tak kunjung memutuskan penahanan terhadap tersangka kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non-aktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP). ISESS menyoroti lemahnya ketegasan kepolisian terhadap kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pengamat kepolisian ISESS Bambang Rukminto memandang keputusan penyidik Polda Sumut untuk tak menahan para tersangka termasuk potret buruk penegakan hukum. Menurutnya, konsistensi dalam penegakan hukum memang menjadi masalah di Korps Bhayangkara.

Baca Juga

"Tentu salah satu problem di kepolisian kita itu adalah konsistensi dalam penegakan hukum. Ini menjadi potret buruk bagi tegaknya hukum yang berkeadilan," kata Bambang dalam keterangan yang dikutip Republika, Ahad (3/4/2022).

Oleh karena itu, Bambang menekankan pentingnya evaluasi dan pemantauan terhadap proses penyidikan. Tujuannya agar proses penyidikan tak melenceng dari prinsip akuntabilitas dan keadilan.

"Saya pikir pengawasan penyidikan itu sangat penting dalam perkara ini," ujar Bambang.

Bambang juga menyindir kurangnya kepekaan penyidik terhadap pelanggaran HAM yang dialami para korban kerangkeng manusia. Para korban mengalami luka permanen, cacat, depresi hingga kehilangan nyawa dalam kasus kerangkeng manusia.

"Masalah ini memang tergantung dari jiwa kepedulian pada masalah HAM," singgung Bambang.

Selain itu, Bambang mengakui bahwa penyidik mempunyai kewenangan untuk memutuskan tersangka ditahan atau tidak. Namun, ia mempertanyakan alasan penyidik tak menahan para tersangka dalam kasus ini hanya karena kooperatif.

"Urgensinya apa untuk tidak menahan 8 tersangka ini? Apalagi ini terkait kejahatan berat pelanggaran HAM," tegas Bambang.

Sebelumnya, Polda Sumut terus melakukan pemeriksaan terhadap 8 tersangka kasus kerangkeng manusia sejak Jumat (25/3). Namun mereka melengang bebas tak ditahan dengan dalih "kooperatif" selama ini.

Delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus kerangkeng manusia adalah HS, IS, TS, RG, JS, DP, HG, dan SP. DP terkonfirmasi sebagai anak TRP yaitu Dewa Perangin Angin. Namun TRP sendiri belum jadi tersangka atas kasus ini.

Tersangka yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam proses TPPO ada 7 orang yaitu HS, IS, TS, RG, JS, DP, dan HG. Sedangkan tersangka penampung korban TPPO ada 2 orang inisial SP dan TS. Akibat perbuatannya, para tersangka diancam hukuman 15 tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement