Kamis 31 Mar 2022 19:50 WIB

Cancel Culture yang tidak Berlaku di Pemilu Indonesia

Cancel culture adalah menarik dukungannya terhadap seorang tokoh yang kontroversial.

Cancel Culture yang tidak Berlaku di Pemilu Indonesia. Foto Ilustrasi Pemilu.
Foto:

Jelang Pemilu Tahun 2024

Melihat tidak berlakunya cancel culture di pemilu Indonesia membuat tidak adanya jaminan bahwa politisi yang terpilih di pemilu 2024 mendatang bebas dari pelanggaran, baik pelanggaran moral dan etika, korupsi, ataupun tindak pidana lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi bagi beberapa pihak. Pertama, penyelenggara pemilu. Berdasarkan, Pasal 4 ayat H Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019, dijelaskan bahwa “Bukan Mantan Terpidana bandar narkoba dan bukan Mantan Terpidana kejahatan seksual terhadap anak”.

Selain itu, pada  Pasal 3A ayat 3 dan 4 PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tidak melarang eks narapidana korupsi maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada) melainkan hanya menganjurkan agar eks narapidana korupsi tak diutamakan untuk dicalonkan. Artinya, perlu adanya perubahan terhadap PKPU terkait eks narapidana korupsi.

Kedua, untuk DPR. Jika berbicara terkait regulasi, maka perlu bagi DPR untuk merevisi pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.   

 

Selain itu, DPR RI juga perlu merevisi Pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang menyatakan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Kedua aturan ini harus direvisi dengan mengatakan bahwa setiap orang yang pernah melakukan tindak pidana dan dipenjara berdasarkan putusan pengadilan tidak boleh mencalonkan diri.

Ketiga, partai politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu erat kaitannya dengan partai politik. Untuk itu, partai politik perlu secara ketat melakukan proses rekrutmen, kaderasasi, dan seleksi kandidat untuk ikut serta dalam pemilu. Sehingga, kandidat yang dimajukan oleh partai politik benar-benar berkualitas, tidak cacat secara moral dan tidak pernah melakukan tindak pidana. Jangan sampai, hanya karena ingin menang dalam pemilu, maka proses ini tidak dilakukan dengan benar.

Keempat, publik. Penting bagi publik untuk mengetahui rekam jejak kandidat yang akan dipilih di pemilu. Jika publik mendapati kandidat yang tidak baik, seperti mantan narapidana korupsi, pernah melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku, pernah melakukan tindak pidana, ataupun melakukan tindakan yang melanggar aturan pemilu, maka publik dapat meng-cancel kandidat tersebut dengan cara tidak memilihnya.

Publik juga harus melihat seluruh kandidat dan bukan hanya satu kandidat saja, misalnya petahana. Sebab, mungkin saja kandidat lain sebenarnya memiliki program yang lebih baik dari petahana. Dari sini, secara garis besar publik dituntut untuk pintar dalam memilih. Sebab, masa depan daerah ataupun negara berada ditangan mereka yang memenangi pemilu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement