REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tanggal 16 Maret 1983,merupakan tanggal berdirinya Departemen Kehutanan yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti Rimbawan. Sebutan Rimbawan atau Forester berarti seseorang yang mempunyai profesi pengelolaan hutan atau orang yang memainkan peran dalam kegiatan pengelolaan hutan kearah kelestarian.
Rimbawan bukan hanya orang-orang yang bertugas mengelola hutan tapi menyangkut siapa pun yang memiliki sikap mental, pemikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan kelestarian alam. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada pidato dan arahannya saat Resepsi Peringatan Hari Bakti Rimbawan (31/03/2022) menerangkan Hari Bakti Rimbawan merupakan penegasan dan pengakuan sebuah profesi di bidang pengelolaan hutan.
Menurutnya, Hari Bakti Rimbawan juga merupakan tonggak konsolidasi para rimbawan di seluruh Indonesia untuk kembali menguatkan komitmen dan kesadaran dalam berkarya dan membangun hutan dan kehutanan Indonesia. "Juga kesadaran menjaga alam Indonesia sebagai mandat yang cukup berat, sehingga secara sekuensial perkembangan dan perubahan harus diikuti dan direkayasa menurut kebutuhan strategis bangsa," terang Menteri Siti.
Ia kemudian menjelaskan kepada seluruh rimbawan yang hadir secara daring dan luring bahwa dalam upaya pengelolaan hutan berkelanjutan, sesungguhnya rimbawan juga profesional di bidang lingkungan hidup. Dirinya kemudian meminta para Rimbawan untuk bergerak meninggalkan pendekatan antroposentris dan menuju ke arah biosentris dan ekosentris.
Lebih lanjut, Menteri Siti menjelaskan pada konteks pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, gagasan antroposentrisme ini mewujud dalam bentuk keyakinan yang meletakkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Antroposentrisme sebagai sebuah paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup mendasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam semesta. Manusia yang dengan berbagai kepentingannya adalah pihak yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan pengambilan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan alam.
"Namun, sudut pandang antroposentrisme ini menyebabkan terjadinya relasi sepihak yang didominasi oleh manusia. Hal ini kemudian memunculkan konsekuensi berupa model pengelolaan sumber daya yang cenderung bersifat eksploitatif dan hanya berorientasi pada profit," ungkap Menteri Siti.
Berbeda dengan antroposentrisme, ekosentrisme mengambil posisi sebaliknya. Ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis maupun abiotis) memiliki nilai karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem.
Ekosentrisme dalam teori etika lingkungan merupakan kelanjutan dari biosentrisme. Apabila biosentrisme hanya meletakkan komunitas biotis sebagai subjek yang memiliki nilai, maka ekosentrisme bertindak lebih jauh dengan menempatkan seluruh komunitas ekologis sebagai subjek yang memiliki nilai. "Meskipun berbeda, tapi dua konsep ini memiliki kesamaan dalam hal memperbaiki pemikiran antroposentrisme dengan jalan memperluas cakupan nilai tidak hanya berlaku bagi manusia saja," terang Menteri Siti.
Melanjutkan pidatonya, Menteri Siti mengungkapkan kini ilmu pengetahuan telah dikonstruksi ke arah yang ramah lingkungan (green). Menurutnya, hal ini
menjadi koreksi terhadap dasar teori lama yang telah cenderung merusak alam, menuju pandangan baru yang lebih holistik dan futuristik.
"Paradigma hijau ini juga telah memperkuat arus pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Dalam kebijakan pembangunan di negara kita telah nyata diarahkan kepada paradigma hijau tersebut, terutama melalui penerapan konsep green economy, blue economy, green industry, green city, green building, green transportation, dan seterusnya. Sektor LHK sangat besar peranannya dalam menyelengarakan pembangunan yang ramah lingkungan tersebut," terang Menteri Siti.