Jumat 25 Mar 2022 11:39 WIB

MRP: Demonstrasi Tolak Otsus yang tak Konsisten, Bukan Papua Merdeka 

MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Ilustrasi. Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten. Menurutnya, demonstrasi itu bukan untuk meminta Papua merdeka. 

"Demonstrasi yang terjadi di Wamena, di Mapaho, di Jayapura, itu mayoritas rakyat itu menolak, yang menolak ini bukan minta Papua merdeka, yang menolak ini adalah tidak setuju dengan pelaksanaan otsus yang tidak konsisten," ujar Yoel dalam diskusi daring pada Kamis (25/3/2022) kemarin. 

Baca Juga

Dia menuturkan, sejauh ini tidak ada riset atau penelitian yang merekomendasikan perlu adanya pemekaran wilayah di Papua. Namun, pemerintah pusat justru akan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan. 

Rencana pemekaran disampaikan pemerintah saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu kini sudah disahkan dalam UU Nomor 2/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021. 

"Tidak ada riset, tidak ada penelitian yang merekomendasikan perlu ada pemekaran di Papua. Lalu sekarang pemekaran untuk siapa?" tanya Yoel. 

Menurut Yoel, penyusunan UU Otsus yang baru itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak melibatkan aspirasi publik maupun masyarakat Papua, termasuk MRP. "UU ini adalah produk Jakarta, tapi dipaksakan untuk bisa diterapkan di Papua, enggak mungkin, aspirasi rakyat itu harus diakomodasi dulu," kata dia. 

Dia mengatakan, MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan. Namun, dia menegaskan, dialog ini konteksnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada aksi saling curiga antara satu sama lain. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement