Senin 21 Mar 2022 20:27 WIB

KPU Uji Publik Draf PKPU Pendaftaran Parpol Peserta Pemilu

Uji publik diikuti parpol, akademisi, organisasi, serta kementerian terkait.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ilham Tirta
Ketua KPU Ilham Saputra.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua KPU Ilham Saputra.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar uji publik Peraturan KPU (PKPU) tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD pada Senin (23/3/2022). Uji publik diikuti perwakilan partai politik (parpol), akademisi, organisasi pegiat pemilu, serta kementerian/lembaga terkait seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Pada kesempatan ini, kami melakukan uji publik terkait rancangan PKPU yang kami punya saat ini," ujar Ketua KPU, Ilham Saputra dalam kegiatan uji publik yang diakses daring.

Baca Juga

Dalam kesempatan yang sama, Anggota KPU Evi Novida Ginting Manik menjelaskan, rancangan PKPU tersebut memasukkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Putusan MK tersebut mengelompokkan partai politik yang tetap diverifikasi administrasi saja atau harus diverifikasi administrasi maupun faktual.

Partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, tetapi tidak diverifikasi faktual. Sementara parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen maupun parpol baru diharuskan diverifikasi kembali secara administrasi dan faktual.

Selain itu, KPU mengusulkan proses pendaftaran secara paperless. Pendaftaran dilakukan secara daring dengan melakukan pengisian data dan pengunggahan dokumen oleh masing-masing parpol ke Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).

"Kita memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat kerja di mana tahapan pendaftaran verifikasi dan penetapan ini kita betul-betul akan menggunakan dan memanfaatkan secara optimal sistem informasi," kata Evi.

Di sisi lain, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja mempertanyakan legalitas kewajiban penggunaan Sipol dalam rangkaian pendaftaran parpol menjadi peserta Pemilu 2024. Menurut dia, kewajiban penggunaan Sipol akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.

“Permasalahan legalitas penggunaan Sipol dalam PKPU ini, apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Pemilu, karena menurut kami pertama adalah jika ingin membatasi atau meniadakan hak politik peserta pemilu, maka diaturannya bukan melalui PKPU,” kata Bagja.

Dia menjelaskan, kewajiban penggunaan Sipol berpotensi membuat salah satu partai politik tidak masuk menjadi peserta pemilu. Hal ini bisa dianggap sebagai ketentuan yang mengakibatkan peniadaan hak politik yang seharusnya diatur melalui level Undang-Undang, bukan PKPU.

Berkaca pada pemilu sebelumnya, kata Bagja, ketentuan serupa dalam PKPU pun akhirnya digugat oleh partai politik ke Mahkamah Agung (MA). “Jika Bawaslu menemukan PKPU kemudian bermasalah, maka akan melakukan judicial review,” kata dia.

Di samping itu, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Teguh Prasetyo meminta KPU melakukan sosialisasi kepada partai politik terkait pendaftaran peserta Pemilu 2024 ini secara detail. Dengan demikian, diharapkan ada persepsi yang sama antara KPU dan parpol terhadap semua persyaratan yang harus dipenuhi.

“Persyaratan-persyaratan yang menimbulkan multitafsir bisa dimengerti dengan baik di antara partai politik sehingga pada akhirnya bias terekam semua dari syarat-syarat itu,” kata Teguh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement