Kamis 17 Mar 2022 17:44 WIB

Seberapa Dekat Indonesia Menuju Endemi Covid-19?

Pada fase endemi, penggunaan masker disarankan tetap diwajibkan.

Seorang warga berjalan di jalur pedestrian Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (28/2/2022). Pemerintah tengah menyusun strategi untuk mengubah status pandemi COVID-19 menjadi endemi dengan mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai pendekatan dari sisi sains, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Seorang warga berjalan di jalur pedestrian Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (28/2/2022). Pemerintah tengah menyusun strategi untuk mengubah status pandemi COVID-19 menjadi endemi dengan mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai pendekatan dari sisi sains, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Dian Fath Risalah, Antara

Ketua Pokja Pengurus Pusat Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan menilai Indonesia belum bisa mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi. Sebab, kasus harian Covid-19 masih di atas 10 ribu hingga per Kamis (17/3/2022).

Baca Juga

"Kalau melihat jumlah kasus harian, kita (Indonesia) belum dekat-dekat banget ke endemi. Kasus baru harian Covid-19 Indonesia selama Oktober 2021 hingga November 2021 di bawah 2 ribuan dan sekarang masih di atas 10 ribuan," katanya.

Ia mengakui Covid-19 varian Omicron lebih ringan dibandingkan Delta. Namun kalau melihat jumlah kasus Covid-19, Erlina menilai Indonesia belum mendekati pergantian status ke endemi. Erlina menambahkan, kalau kasus Covid-19 bisa diturunkan dan tidak ada dampak untuk kesehatan maka bisa dianggap endemi. Kemudian, dia melanjutkan, pelonggaran protokol kesehatan (prokes) bisa dilakukan lebih luas lagi.

"Tetapi untuk saat ini saya merasa belum sampai fase endemi. Bisa saja menuju ke sana asalkan pemerintah dan masyarakat sama-sama berkolaborasi untuk perbaikan upaya untuk pencegahan kenaikan kasus dan penularan kasus Covid-19," ujarnya.

Kalau upaya ini bisa dilakukan, dia melanjutkan, kasus Covid-19 bisa semakin melandai. Kemudian suatu hari Covid-19 akan menjadi sakit biasa seperti flu atau penyakit lainnya ini yang disebut dengan endemi. Akhirnya masyarakat terbiasa dengan kondisi ini dan tidak lagi bermasalah. Selain itu, warga juga terbiasa untuk mengantisipasi kalau terjadi penularan virus ini.

Karena kasus Covid-19 masih dalam kategori belum aman, Erlina mengatakan pelonggaran protokol kesehatan (prokes) saat ini belum bisa dilakukan secara meluas. Pelonggaran prokes hanya bisa dilakukan di kota/kabupaten yang mengalami sedikit kasus Covid-19 atau melandai.

"Kasus Covid-19 harian Indonesia (secara nasional) saat ini di kisaran lebih dari 10 ribu. Melihat jumlah kasus seperti ini, tentunya pelonggaran prokes tidak bisa diterapkan secara luas dan umum," ujarnya.

Pelonggaran prokes disarankan dilakukan bertahap di daerah yang rendah kasus Covid-19 lebih dulu. Misalnya di provinsi yang jumlah kasusnya melandai di bawah 1.000 maka Erlina setuju ada pelonggaran prokes.

Kendati demikian, ia meminta pakai masker tetap harus dilakukan. Sebab, ia mengingatkan pakai masker efektif mencegah penularan virus dan sangat mudah dilakukan.

Sebaliknya kalau di suatu kota masih tinggi kasus Covid-19 nya maka sebaiknya protokol kesehatan tetap ketat dilakukan. Apalagi, ia mengingatkan varian Omicron yang sangat mudah menular. Sehingga, pencegahan penularan tentu sangat penting.

Erlina mengingatkan, ketika seseorang sakit atau tak sakit Covid-19 adalah masalah pribadi. Ketika terinfeksi virus ini maka orang yang terapapar merasakan gejala seperti pusing, sesak atau gejala lain yang membuat tak nyaman. Jadi, dia melanjutkan, kalau seseorang tak ingin sakit seharusnya melaksanakan segala macam pencegahan.

Selain kasus harian Covid-19 yang melandai, Erlina menilai pelonggaran prokes bisa dilakukan kalau cakupan vaksinasi tinggi, kemudian adanya kepatuhan masyarakat juga ikut menjadi indikator. Kalau ketiga ini dipenuhi, dia melanjutkan, maka masuk akal dilakukan pelonggaran prokes dilakukan karena masyarakat harus melaksanakan kegiatan rutinitas.

"Tetapi kalau indikator itu belum terpenuhi, kita tentu tak ingin seperti negara-negara yang melonggarkan prokes kemudian naik lagi kasusnya dan bermasalah lagi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement