REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengamini jika indeks demokrasi Indonesia terus menurun setiap tahunnya. Menurutnya, penurunan tersebut disebabkan oleh dua hal, yakni kebebasan berekspresi dan partisipasi publik.
Mu'ti menilai kebebasan berekspresi menjadi sesuatu yang sangat mahal saat ini. Pasalnya, terdapat banyak kasus pidana yang disebabkan oleh penyampaian pendapat yang dinilai tak sejalan dengan sejumlah elite atau kelompok.
"Kalau kita berekspresi di ruang kita pribadi, medsos kita saja, itu siap-siap saja kita di-bully dan dibui, jadi dua, kita bisa di-bully dan dibui gara-gara medsos. Karena itu orang sekarang memilih diam," ujar Mu'ti dalam sebuah diskusi daring, Rabu (9/3/2022).
Kebebasan berekspresi yang terbatas menyebabkan partisipasi publik yang rendah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh pemerintah yang hanya menjadikan aspirasi publik sebagai bagian dari formalitas saja.
Hal itu terbukti ketika pembuatan Undang-Undang yang diklaim melibatkan publik, tetapi akhirnya banyak elemen masyarakat yang menolak. Menurutnya, pemerintah masih gagal memahami esensi dari demokrasi sebagai nilai.
"Dalam pengertian 'saya bicara apa juga tidak ada efeknya dan lebih baik saya mengurusi apa yang menjadi kebutuhan pribadi saya'. Jadi publik apatisme ini menurut saya menjadi realitas baru yang berkontribusi mengapa indeks demokrasi kita turun," ujar Mu'ti.
Dua hal tersebut kemudian menimbulkan istilah baru dalam demokrasi Indonesia saat ini, yakni typokrasi. Ia menjelaskan, typokrasi adalah sebuah gejala ketika negara melakukan kesalahan, tetapi kemudian meralatnya sendiri.
"Jadi suatu pemerintahan di mana pemimpinnya suka typo-typo aja, tipu-tipu, yang kemudian diralat 'saya maunya begini kok' kemudian diralat," ujar Mu'ti.