Senin 07 Mar 2022 20:19 WIB

Kala Emak-Emak Adu Argumen Pengujian Presidential Threshold di Sidang MK

Sejumlah ibu rumah tangga ajukan uji materi UU Pemilu terkait presidential threshold.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). MK saat ini sedang menyidangkan uji materi UU Pemilu yang diajukan oleh sejumlah ibu rumah tangga. (ilustrasi)
Foto: republika.co.id
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). MK saat ini sedang menyidangkan uji materi UU Pemilu yang diajukan oleh sejumlah ibu rumah tangga. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika

Ketentuan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan Presiden yang termuat dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini sejumlah wiraswasta dan ibu rumah tangga (IRT) turun tangan setelah pengujian serupa yang dilakukan Gatot Nurmantyo, Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra tak berbuah hasil. 

Baca Juga

Pemohon pengujian PT kali ini dari unsur IRT yaitu Endang Wuryaningsih, Elyan Verna Hakim, Ida Farida, Neneng Khodijah dan sisanya unsur wiraswasta adalah Syafril Sjofyan, Tito Roesbandi, dan Lukman Nulhakim. Mereka mendalilkan jika Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 13/PUU-XX/2022 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (7/3) secara daring.

Pemohon prinsipal, Endang, menyebutkan ketentuan pasal tersebut melanggar hak konstitusional partai politik dalam menyediakan dan menyeleksi sebanyak-banyak calon pemimpin masa depan. Endang mengatakan, jika secara konseptual konstruksi normatif dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara bersamaan, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih sebagai warga negara. 

Sehingga, Endang meyakini ketentuan pasal tersebut berkorelasi dengan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon dalam hal mendapatkan sebanyak-banyaknya pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024.

“Partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan wakil presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelengggaraan pemilihan tersebut adalah warga negara, termasuk para Pemohon,” kata Endang yang menghadiri persidangan secara daring. 

Selain itu, Endang merujuk pada Putusan MK Nomor 74/PUU-XVIII/2020 dimana empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Endang mengutip pendapat para hakim tersebut yaitu hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional tidak boleh dihilangkan atau direduksi dalam peraturan yang lebih rendah. 

"Dengan demikian, ketentuan yang ada pada Pasal 222 UU Pemilu yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Sehingga sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum secara mengikat," ujar Endang. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement