REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Olivia C Salampessy mengungkapkan, ada beberapa hal yang menghambat penanganan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM), akses kepada teknologi informasi dan komunikasi, fasilitas, serta anggaran.
"Ini dikhawatirkan akan menyebabkan stagnan dalam hal kapasitas penyikapan kasus," kata Olivia dalam acara peluncuran Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, Senin (7/3/2022).
Menurut dia, Komnas Perempuan, yang mengalami keterbatasan dituntut untuk merespons secara cepat setiap pengaduan kasus dengan segala keterbatasan. "Kami baru bisa menangani 16 kasus per hari," kata dia.
Hambatan lain dalam penyelesaian berbagai kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan antara lain pencabutan pengaduan oleh korban, kekurangan alat bukti, serta keterbatasan perspektif aparat penegak hukum. Selanjutnya, pelaku kekerasan seksual juga acap kali merupakan orang terdekat korban.
Selain itu, pelaku kekerasan seksual juga ada pula figur yang seharusnya menjadi pelindung, contoh, dan teladan, seperti guru, dosen, tokoh agama, aparat penegak hukum, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, serta pejabat publik. "Sosialisasi tentang perkawinan anak sebagai pelanggaran terhadap hak anak, terutama anak perempuan harus terus disebarluaskan," kata dia.
Di tengah peningkatan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang semakin kompleks dan signifikan, Olivia menilai perlu adanya keseriusan dan keterlibatan berbagai pihak dalam menangani berbagai laporan tersebut sehingga tidak terkesan jalan di tempat.
Kasus kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan meningkat 50 persen, dari 226.062 kasus di 2020 menjadi 338.496 kasus di 2021. "Dibutuhkan terobosan untuk memberi solusi atas kesukaran yang dihadapi oleh perempuan korban dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan," kata dia.