Sabtu 05 Mar 2022 22:02 WIB

Naskah Akademik Keppres 1 Maret Dibuka ke Publik, Mahfud MD Terlibat Beri Rekomendasi

Sukarno tak berperan dalam Serangan Umum 1 Maret, tapi disebut penggerak oleh Jokowi.

Menko Polhukam Prof Mahfud MD.
Foto: Dok Kemenko Polhukam
Menko Polhukam Prof Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontroversi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara terus bergulir. Selain hilangnya nama Letkol Soeharto, keppres yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022, itu juga memuat Sukarno-Hatta sebagai penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949. Padahal, status keduanya saat itu menjadi tahanan Belanda dan diasingkan di Bangka.

Akun Twitter Humas Pemda DIY, @humas_jogja pun merilis naskah akademik setebel 130 halaman sebagai kajian terbitnya keppres tersebut yang tautannya dicantumkan di laman Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri.

Baca Juga

Ditinjau penulis dalam halaman 73, huruf D berjudul 'Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sisstem Baru yang akan Diatur dalam Keputusan Presiden'. Di sini dijelaskan jika kajian akademis yang baru tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 ini telah diseminarkan pada lingkup daerah dan nasional dalam berbagai seminar lokal dan nasional, yang melibatkan para pakar sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.

"Antara lain, Dri Sri Margana (UGM), Julianto Ibrahim (UGM) Prof Nina Herlina Lubis (Unpad), Prof Gusti Asnan (Unand), Dr Suryadi Mapangara (Unhas), Dr Abdul Syukur (UNJ), Hilmar farid (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat), Prof Mahfud MD (Menko Polhukam), Prof Wildan (Staf Ahli Setneg) merekomendasikan agar peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dijadikan sebagai Hari Nasional," demikian kajian naskah akademik dikutip di Jakarta, Sabtu (5/3/2022) malam WIB.

Dari timeline Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dibuat tim penulis Sri Margana dkk, nama Sukarno-Hatta hanya disebut beberapa kali pada 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pada 19 Desember 1948 ketika menyelenggarakan sidang mempersiapkan skenario untuk menyelamatkan Indonesia. Tapi, tidak ada penjelasan dan bukti yang disampaikan tim penulis naskah akademi sama sekali Sukarno terlibat SU 1 Maret 1949.

Keputusan sidang terakhir yang melibatkan Sukarno sebelum ditahan Belanda adalah, di antaranya mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat, Sukarno-Hatta memutuskan bertahan di ibu kota negara dan melanjutkan perjuangan secara diplomatik, serta memerintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk terus melakukan perlawanan dengan siasat perang gerilya.

Sejak 19 Desember 1948, Sukarno-Hatta ditangkap Belanda, dan diasingkan. Pada 6 Juli 1949, Sukarno-Hatta yang ditangkap belanda kembali ke Yogyakarta. Dari sini, terlihat sama sekali tidak ada kaitan langsung yang dilakukan Sukarno-Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Bahkan, penguasa PDRI Syafruddin Prawiranegara juga tidak terlibat. Namun, faktanya nama Sukarno-Hatta disebut Presiden Jokowi sebagai penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949.

"Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," begitu bunyi Keppres Nomor 2 Tahun 2022.

Sejarawan sekaligus budayawan Fadli Zon menilai, penyusunan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara salah besar. Menurut Fadli, tidak ada peran Sukarno-Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Karena itu, ia mempertanyakan, Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022 itu tidak akurat.

"Saya sudah baca Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebaiknya segera direvisi. Data sejarah banyak salah," kata wakil ketua umum DPP Gerindra itu melalui akun Twitter, @fadlizon dikutip di Jakarta, Sabtu (4/3/2022).

Dua hal yang tidak akurat dalam Keppres 1 Maret, yaitu pemerintah berupaya menghilangkan peran Letkol Soeharto sebagai komandan lapangan. Selain itu, pemerintah juga menghilangkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara. PDRI berdiri lantaran Sukarno-Hatta sudah menyerah dan ditawan Belanda sejak Agresi Militer 2 pada 19 Desember 1948.

Selain menyebut Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD, Fadli juga siap berdebat dengan perwakilan pemerintah. Menurut dia, pemerintah sengaja membelokkan sejarah untuk mengaburkan fakta sebenarnya. "Kebetulan doktor saya bidang sejarah dari Universitas Indonesia. Saya juga meneliti PDRI. Negara hampir pecah gara-gara konflik PDRI vs Tracee Bangka," kata Fadli.

Ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 sukses hingga melemahkan posisi Belanda, akhirnya Dwi Tunggal dibebaskan kembali. Hanya saja, Panglima Jenderal Soerdiman sempat enggan bertemu Presiden Sukarno. Hal itu imbas ajakan Soedirman agar Sukarno ikut berjuang bersama rakyat dengan bergerilya tidak ditanggapi.

Sukarno malah menyerah tanpa syarat kepada Belanda, hingga membuat Soedirman kecewa. Adapun selama gerilya keluar masuk hutan, Soedirman menjadikan Letkol Soeharto yang saat itu menjabat Komandan Brigade 10/Wehrkreise III yang membawahi wilayah Yogyakarta, sebagai salah seorang kepercayaannya untuk ikut menghancurkan pertahanan Belanda.

"Jenderal Soedirman pun mulanya 'enggan' bertemu Sukarno-Hatta untuk rekonsiliasi nasional Juli 1949. Baru setelah dibujuk Pak Harto akhirnya mau bertemu," kata Fadli.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie menyebut, Keppres yang diteken Presiden Jokowi bertujuan untuk mereduksi peran Jenderal Soeharto dari sejarah. "Kalau di masa Orba terjadi gelombang de-Soekarnoisasi tiga dasawarsa, maka di zaman sekarang sedang terjadi de-Soehartoisasi juga sudah lebih dari dua dasawarsa," kata Jimly ketika dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement