REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merampungkan penyelidikannya atas kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Komnas HAM menemukan 12 pelanggaran HAM dalam kasus tersebut.
Komisioner bidang Pemantauan & Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam menyebut kasus kerangkeng ini pertama melanggar hak untuk hidup karena terdapat setidaknya enam orang korban meninggal dalam berbagai kurun waktu periode sejak berdirinya kerangkeng. Mereka meninggal karena mengalami berbagai kekerasan di tempat tersebut.
Kedua, pelanggaran hak atas kebebasan pribadi yang ditujukkan dengan kondisi kerangkeng yang serupa tempat tahanan, tanpa adanya dasar hukum yang sah, pengawasan dan penjagaan agar penghuni tidak melarikan diri, maupun proses mengantar jemput penghuni menuju lokasi kerja. "Praktik tersebut menunjukkan terbatasnya ruang gerak para penghuni dengan selalu adanya pengawasan maupun kontrol dari struktur pengurus kerangkeng," kata Anam dalam laporan resmi Komnas HAM yang dikutip Republika, Kamis (3/3/2022).
Ketiga, pelanggaran hak untuk berkomunikasi antara penghuni dengan keluarga ditemukan pada periode 1-2 bulan pertama menghuni kerangkeng. Penghuni tidak diperkenankan membawa alat komunikasi selama masih berada di kerangkeng tanpa adanya perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keempat, pelanggaran hak untuk tidak diperbudak dan praktik serupa perbudakan.
Kelima, pelanggaran hak untuk bebas dari kerja paksa. "Kerja paksa terjadi dalam peristiwa ini dan ditunjukkan dari adanya jenis pekerjaan/jasa yang dilakukan oleh penghuni kerangkeng di bawah ancaman baik langsung maupun tidak langsung ataupun penghukuman serta tidak adanya kesukarelaan dalam melakukan pekerjaan tersebut," ujar Anam.
Keenam, pelanggaran hak atas kesehatan yang di antaranya tercermin dari kondisi dan fasilitas kerangkeng yang tidak layak, penanganan kesehatan yang hanya terbatas pada pemeriksaan fisik, temuan penghuni yang meninggal tanpa perawatan kesehatan yang memadai. Ketujuh, pelanggaran
hak atas rasa aman. Ancaman ketakutan berbuat atau tidak berbuat sesuatu ditemukan terjadi baik pada penghuni kerangkeng, keluarga yang menyerahkan, maupun masyarakat sekitar yang mengetahui adanya kekerasan maupun korban meninggal di kerangkeng tersebut.
"Kedelapan, pelanggaran hak untuk bebas dari penyiksaan penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat manusia. Dampak yang dihasilkan antara lain rasa sakit yang teramat sangat dan mengakibatkan kematian penghuni, luka tidak membekas dan membekas di bagian tubuh, hingga upaya bunuh diri," ucap Anam.
Kesembilan, pelanggaran hak memperoleh keadilan. Pada kasus ini, penangkapan dan penahanan yang terjadi pada penghuni kerangkeng dilakukan tanpa adanya dasar hukum dan dilakukan secara sewenang-wenang. Selain itu, surat pernyataan yang dibuat juga merupakan bentuk menghalangi hak atas keadilan terhadap bagi keluarga korban maupun korban.
Kesepuluh, pelanggaran hak anak. "Temuan mengenai adanya penghuni kerangkeng yang berusia anak dan berpotensi mengalami berbagai praktik pelanggaran HAM seperti yang ditemukan pada penghuni lain merupakan bentuk pelanggaran atas hak anak," tutur Anam.
Kesebelas, pelanggaran hak atas pekerjaan. Komnas HAM menemukan tidak adanya peningkatan kapasitas bagi mereka yang bekerja, tidak adanya pilihan bebas untuk memilih pekerjaan, kondisi di bawah tekanan dan ancaman saat bekerja. Penghuni kerangkeng tidak mendapat perlakuan sama dengan karyawan pabrik dalam mendapatkan upah, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, dan waktu kerja yang tidak sesuai dengan aturan mengenai jumlah jam kerja menunjukkan pelanggaran hak atas pekerjaan.
"Ke-12, pelanggaran hak atas upah yang layak dan adil. Temuan Komnas HAM RI menunjukkan tidak adanya upah yang didapatkan penghuni dalam melakukan berbagai jenis pekerjaan selama periode rehabilitasi di kerangkeng adalah pelanggaran atas hak ini," ujar Anam.