REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti, turut memberikan tanggapan terkait penundaan pemilihan umum (pemilu).
Dia meminta elite-elite politik di Indonesia bersikap arif dan bijaksana terkait penundaan pemilu. "Serta, mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok. Janganlah menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar konstitusi," kata Mu'ti melalui rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (25/2/2022).
Mu'ti berpendapat, sebaiknya elite-eliet politik di Indonesia mau melihat langsung keadaan yang terjadi di masyarakat.
Dia meminta, elite-elite mau memahami keadaan dan perasaan rakyat. Jadi, jangan hanya baca hasil survei yang mungkin tidak akurat.
"Sebaiknya wacana menunda pemilu yang berimplikasi kepada perpanjangan masa bakti Presiden Wakil Presiden, Menteri, DPD, DPR, DPRD dan jabatan-jabatan terkait lain diakhiri. Mari berpikir jernih dan jangka panjang," ujar Mu'ti.
Sebelumnya, Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda 1-2 tahun agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan terjadi pembekuan ekonomi. Dia menilai, pandemi telah mengakibatkan stagnasi.
Dia mengungkapkan, usulan itu didasari masukan dari pelaku UMKM, pebisnis, analis ekonomi dari berbagai perbankan tentang prospek ekonomi setelah pandemi. Dari masukan itu, Cak Imin mengusulkan, Pemilu 2024 ditunda setidaknya 1-2 tahun.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan mengusulkan hal serupa. Tokoh politik yang akrab disapa Zulhas ini mengungkapkan beberapa alasan penundaan gelaran tahapan Pemilu 2024. Satu di antaranya adalah terkait Pandemi Covid-19 yang masih belum sepenuhnya pulih.
"Pandemi belum sepenuhnya pulih, diperlukan perhatian yang sungguh-sungguh dan serius untuk menangani Pandemi Covid-19 ini," kata Zulhas kepada wartawan, Jumat (25/2/2022).
Alasan lain, jelas dia, kondisi ekonomi negara dan dunia masih belum sepenuhnya membaik.
Dimana pertumbuhan ekonomi negara saat ini rata-rata masih sebesar 3,5 persen. "Banyak pegawai yang kehilangan pekerjaan dan usaha serta unit bisnis belum kembali secara efektif," terangnya.
Termasuk juga dengan kondisi global yang belum stabil, ditambah suasana politik internasional justru memanas.
Dari semua alasan itu, menurut Zulhas, kinerja presiden Jokowi dalam menangani Pandemi dan dampak krisis global juga cukup baik, ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan kepuasan publik atas kinerja presiden selama penanganan Pandemi masih diangka yang cukup memuaskan.