REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pancasila mampu menyatukan perbedaan, namun sebagai ideologi negara ia juga tak lepas dari tantangan akibat globalisasi.
Ademisi Universitas Paramadina, Yudi Latif, menjelaskan dalam kondisi keterkinian, fenomena globalisasi membawa dua konsekuensi, pertama globalisasi adalah take away, menarik bangsa dipersatukan dalam pengaruh internasional, lewat teknologi telematika.
Sehingga, pusat global merembes masuk ke berbagai wilayah, bahkan masuk pada sudut terpencil di dunia, menghasilkan fenomena global village.
Akibatnya, menurut Yudi, ideologi global merembes masuk nyaris tanpa gatekeeper. Dahulu ulama dan kyai, bisa menyeleksi dahulu, baru kemudian mana yang diperbolehkan masuk ke masyarakat, mana yang tidak.
“Kini dengan teknologi digital, merembet masuk ke desa,” kata dia dalam webinar bertema “Sosialisasi Perpol No. 1 Tahun 2021 tentang Pemolisian Masyarakat dan Peningkatan Peran Lembaga Dakwah Islam Indonesia dalam Kerja Sama dengan Polri untuk Pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM)”, Senin (21/2/2022).
Yudi melanjutkan, kedua, globalisasi bersifat pushdown, menekan bangsa dan negara ke bawah, sehingga melahirkan luberan. Hal tersebut, membuat Indonesia yang majemuk dikarenakan tekanan globalisasi tersebut, menghadapi kenyataan pluralisasi eksternal dan internal.
Kompleksitas tersebut, kata dia, membuat isu yang berkaitan dengan conflict resolution, bagaimana menjaga ketertiban dan keamanan, mendapatkan tekanan yang sangat serius.
“Tekanan terhadap nilai Pancasila, dapat dilihat dari tekanan yang mengalir pada setiap sila itu sendiri,” kata dia.
Dia menjelaskan, sila pertama, mestinya mengajak, apapun perbedaan agama, aliran, dipersatukan semangat ketuhanan yang welas asih, tapi sekarang, banyak orang mengalami artikulasi agama, sehingga melahirkan ekspresi yang keras dan mengarah konflik di akar rumput.
Pada sila kedua, adanya pengaruh globalisasi yang makin intens, dapat menjadikan wilayah zona konflik. “Pengaruh dan berbagai kompetisi persaingan ideologi global, serta jaringan terorisme bisa merembes, menjadi sel diam di desa-desa,” ujarnya.
Baca juga: Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas
Sila ketiga, Indonesia yang multikultural, mestinya terbiasa mengembangkan sikap hidup merekatkan persatuan, namun seringkali berkembang sikap monokultural, yang lebih mengedepankan sesama kubu saja, suku saja, dan aliran agama tertentu saja.
“Seharusnya, desa dapat menjadi zona yang relatif aman dan tentram, namun penetrasi pengaruh global dapat membuat robekan sosial terjadi,” jelasnya.