Ahad 13 Feb 2022 18:56 WIB

Amnesty: Usut Dugaan Penembakan Pengunjuk Rasa di Parigi Moutong, Sulteng

Termasuk menginvestigasi aparat yang terlibat penembakan atau tindakan lain.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Amnesty: Usut Dugaan Penembakan Pengunjuk Rasa di Parigi Moutong, Sulteng (ilustrasi).
Amnesty: Usut Dugaan Penembakan Pengunjuk Rasa di Parigi Moutong, Sulteng (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Insiden dugaan penembakan terhadap pengunjuk rasa terjadi ketika massa menolak tambang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Terkait hal itu, Amnesty International Indonesia menuntut aparat kepolisian mengusut dugaan insiden penembakan tersebut.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai insiden penembakan tersebut merupakan aksi brutal melawan hukum. “Brutal, sangat brutal, apalagi kami menerima laporan sudah ada korban tewas," katanya dalam keterangan kepada wartawan, Ahad (13/2/2022).

Baca Juga

Ia menegaskan penembakan terhadap pengunjuk rasa damai yang menolak pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong tidak bisa dibenarkan. Karena itu, aparat penegak hukum harus segera mengusutnya, termasuk menginvestigasi aparat yang terlibat penembakan atau tindakan lain yang sangat merendahkan martabat manusia.

"Kami mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi yang kredibel atas kasus ini," tegasnya.

Insiden ini menambah daftar panjang aksi kekerasan kepada masyarakat. Dimana dalam sepekan terakhir, negara begitu represif dan eksesif dalam menangani masyarakat yang memprotes tambang.

"Kami mendesak agar negara berhenti mengerahkan kekuatan dan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes-protes warga. Siklus kekerasan ini harus dihentikan. Negara wajib melindungi mereka yang berbeda pendapat dengan negara," terangnya.

Usman Hamid mengungkapkan sudah saatnya negara mengedepankan dialog dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini penting untuk melindungi hak masyarakat di sekitar area pertambangan untuk memberikan, atau tidak memberikan, persetujuan yang didasarkan informasi, di awal, dan tanpa paksaan atas rencana penambangan di wilayah mereka. Pembangunan tanpa persetujuan adalah pelanggaran HAM.

“Kami mendesak Presiden agar memerintahkan Kapolri untuk mengusut kejadian ini dan menindak dan menghadapkan pelakunya ke peradilan umum. Sanksi disiplin seperti yang selama ini diterapkan, jauh dari standar hukum yang benar, apalagi rasa keadilan masyarakat," imbuhnya.

Latar belakang

Pada Sabtu, tanggal 12 Februari, sekitar 700 orang dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu melakukan unjuk rasa dengan memblokade jalan Trans Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut.

Menurut informasi yang diterima Amnesty, pada sekitar pukul 20.30 waktu setempat, anggota Brimob diturunkan ke lokasi untuk membubarkan massa aksi. Pada sekitar pukul 24.00, polisi menembakkan gas air mata dan terjadi aksi saling lempar antara massa dan polisi. Pada pukul 01.30, seorang warga Kecamatan Tinombolo Selatan tertembak di dada dan akhirnya meninggal dunia.

Pada saat penulisan, polisi masih menahan setidaknya 70 orang massa aksi. Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 dan hak untuk berkumpul secara damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 21.

Instrumen ini mengikat semua negara yang telah meratifikasinya, termasuk Indonesia. Merujuk pada Kovenan ini, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen hak asasi manusia internasional.

Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi juga telah dijamin dalam UUD Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, penggunaan senjata api oleh aparat juga harus sesuai dengan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum yang dikeluarkan oleh PBB (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials), yang melarang penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum kecuali apabila mutlak diperlukan untuk melindungi diri atau untuk membela orang lain dari ancaman kematian.

Dalam peraturan di tingkat kepolisian sekalipun, pengunaan senjata api secara berlebihan telah tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Pengunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement