Senin 31 Jan 2022 07:57 WIB

Pengamat Nilai Jaksa Agung Sepelekan Kasus Korupsi Soal Nominal Rp 50 Juta

Pernyataan Jaksa Agung berpotensi memunculkan budaya korupsi baru di bawah Rp 50 juta

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Dalam rapat kerja tersebut Burhanuddin menjawab sejumlah pertanyaan anggota Komisi III DPR, salah satunya terkait dugaan korupsi pengadaan satelit pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2015-2016.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Dalam rapat kerja tersebut Burhanuddin menjawab sejumlah pertanyaan anggota Komisi III DPR, salah satunya terkait dugaan korupsi pengadaan satelit pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2015-2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritik usulan perkara tindak pidana korupsi di bawah Rp 50 juta cukup diselesaikan dengan mengembalikan uang ke negara oleh Jaksa Agung Burhanuddin. Ia menilai Jaksa Agung menyepelekan kasus korupsi melalui usulannya tersebut. Hal ini justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Feri menekankan upaya pemberantasan korupsi menyasar pelakunya untuk dihukum, tak sekadar pengembalian uang hasil kejahatannya saja. "Logika pencegahan kejahatannya tak masuk akal. Perlawanan terhadap korupsi itu bukan soal jumlah uang yang dicuri saja tapi juga soal akibat yang ditimbulkan," kata Feri kepada Republika.co.id, Ahad (30/1/2022).

Baca Juga

Feri mengkhawatirkan wacana ini dapat berpengaruh pada masa depan bangsa. Sebab budaya koruptif seolah menjadi dilanggengkan. "Ada kehidupan sosial dengan budaya korup akibat dari kejahatannya. Sistem pemerintahan yang buruk juga akibat yang ditimbulkan praktik koruptif," ujar Feri.

Feri menyatakan usulan ini dapat menimbulkan pelaku korupsi baru karena merasa tak dihukum asalkan di bawah Rp 50 juta. "Jika koruptor Rp 50-an juta dibiarkan melenggang. Maka akan timbul budaya korupsi baru. Selama cuma Rp 50 juta tidak korupsi, maka orang akan bersama-sama korupsi di bawah Rp 50 juta," lanjut Feri.

Selain itu, Feri merasa heran mengapa pihak Kejaksaan Agung melontarkan wacana tersebut. Menurutnya, sudah seharusnya pihak Kejaksaan Agung mendukung pemberantasan korupsi dengan menghukum para pelakunya.

"Sistem pemerintahan dan tata kehidupan sosial kita akan tambah hancur karena ada budaya korupsi baru. Saya tidak habis pikir apa yang menyebabkan jaksa agung bicara begitu. Sebagai APH, pernyataan itu harusnya tidak tersampaikan, bahkan harusnya tidak melintas di alam pikiran seorang Jaksa Agung," ucap Feri

Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, perkara tindak pidana korupsi di bawah Rp 50 juta cukup diselesaikan dengan mengembalikan uang ke negara. Hal tersebut dilakukan supaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi bisa selesai dengan cepat dan berbiaya murah.

"Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi kerugian  keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara," kata Buharnuddin, Kamis (27/1/2022).

Namun, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah meralat pernyataan itu. Ia menuturkan, penerapan sanksi dan hukuman tetap harus ada bagi penyelenggara negara yang terlibat praktik rasuah meskipun angkanya berada di bawah Rp 50 juta. Misalnya, berupa penundaan kenaikan jabatan, penurunan jabatan, bahkan sampai pada pemecatan.

"Jadi tidak terputus bahwa kalau di bawah 50 juta, itu dihentikan. Tidak. Ada beberapa pertimbangan, dari pengembalian, dan pengenaan hukuman sanksi disiplin misalnya," tegas Febrie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement