Senin 24 Jan 2022 16:59 WIB

Seorang ASN Gugat Presidential Threshold UU Pemilu, Ini Alasannya

Sebelumnya, Menpan RB Tjahjo mengatakan, Ikhwan diduga melanggar disiplin ASN.

Rep: Antara, Febryan A/ Red: Ratna Puspita
Aparatur sipil negara (ASN) Ikhwan Mansyur Situmeang menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berkaitan dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen. (Foto: Ilustrasi)
Foto: Infografis Republika.co.id
Aparatur sipil negara (ASN) Ikhwan Mansyur Situmeang menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berkaitan dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen. (Foto: Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aparatur sipil negara (ASN) Ikhwan Mansyur Situmeang menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berkaitan dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo mengatakan, Ikhwan diduga telah melanggar disiplin ASN. 

"Saya adalah pemohon warga negara perorangan yang memiliki hak dipilih tetapi berpotensi dirugikan karena presidential threshold," kata Ikhwan Mansyur Situmeang pada sidang perkara Nomor 7/PUU-XX/2022 yang digelar Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Senin (24/1/2022).

Baca Juga

Dalam sidang tersebut, pemohon mengatakan bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, atau bagian Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 lebih khususnya Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Sebagai seorang warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya, pemohon berpendapat problem yang dihadapi ialah mengenai ambang batas pencalonan presiden.

Pasal 222 memberlakukan presidential threshold yang justru membatasi jumlah calon presiden. Karena itu, dia berpendapat bahwa konstruksi pasal tersebut tidak memiliki konsistensi dengan Pasal 6A.

Sementara itu, dalam Pasal 6A disebutkan bahwa ambang batas pencalonan presiden tanpa angka persen atau terbuka bagi partai politik. "Jika Pasal 6A dan Pasal 222 disandingkan, maka sama halnya Pasal 222 merusak Pasal 6A UUD 1945," kata Ikhwan Mansyur Situmeang.

Menurut dia, Pasal 222 cenderung memunculkan dua pasangan calon sehingga menciptakan persaingan yang simpel atau menghadirkan pesaing yang lemah. Tidak hanya itu, ia menilai, koalisi yang muncul akibat presidential threshold tidak programatik.

"Koalisi ini juga tidak kompetitif karena membatasi calon presiden tanpa mempertimbangkan hak warga," ujarnya.

Pada 6 Januari 2022, Tjahjo mengatakan, ASN yang menggugat presidential threshold tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Pasal 3 itu menyebutkan, yakni setia dan taat sepenuhnya kepada UUD 1945. 

"Seharusnya yang bersangkutan mendiskusikan dengan atasannya, apakah ini (menggugat ke MK) menjadi kewajibannya sebagai ASN atau tidak," kata Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Kamis (6/1/2022). 

Menurut Tjahjo, gugatan presidential threshold dijadikan 0 persen sudah pernah ditolak MK dan oleh karenanya harus ditaati sebagai kebijakan hukum. "ASN harus patuh dan tegak lurus kepada atasannya dan ketentuan perundang-undangan," ujarnya. 

Tjahjo juga mengungkap bahwa Ikhwan adalah ASN yang berdinas di Sekretariat Jenderal DPD RI. Menurut Tjahjo, tindakan Ikhwan melayangkan gugatan ke MK ini harus didalami, apakah murni kehendak pribadi atau ada motif lain yang sifatnya partisan dan ada pihak lain di belakangnya. 

"Kalau dia partisipan, berarti dia sudah bertindak tidak netral karena telah berpihak kepada pihak atau kelompok tertentu. Ketidaknetralan seorang ASN adalah bentuk pelanggaran disiplin ASN," kata Tjahjo. 

Ketika ditanya apa hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ikhwan, Tjahjo menyebut sanksi akan dijatuhkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Sekjen DPD RI. PPK dapat memberikan hukuman berjenjang. Tapi, sebelum menjatuhkan hukuman, PPK harus memanggil dan mendalami terlebih dahulu untuk membuktikan unsur pelanggaran disiplinnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement