Senin 24 Jan 2022 16:11 WIB

Mendagri Ungkap Penyebab Utama Kasus Korupsi Masih Sering Terjadi

Mendagri yakin masih banyak kepala daerah berprestasi.

Mendagri Ungkap Penyebab Utama Kasus Korupsi Masih Sering Terjadi
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Mendagri Ungkap Penyebab Utama Kasus Korupsi Masih Sering Terjadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkapkan penyebab utama yang membuat kasus korupsi masih kerap terjadi. Hal itu disampaikan Mendagri pada Rapat Kerja bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dengan Kepala Daerah dan Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota se-Indonesia secara virtual dari Ruang Sasana Bhakti Praja (SBP), Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta pada Senin (24/1/2022). 

Menurut Mendagri, sebagaimana hasil analisis yang telah dilakukan Kemendagri, penyebab pertama yakni masih adanya sistem yang membuka celah terjadinya tindakan korupsi. Termasuk di dalamnya, sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, politik berbiaya tinggi, dan rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan. 

Baca Juga

Mendagri membeberkan sejumlah penerapan administrasi pemerintahan yang membuka peluang terjadinya tindakan korupsi. Hal itu seperti sistem yang masih mengandalkan pertemuan fisik, alur birokrasi yang berbelit-belit, dan regulasi yang terlalu panjang. Penerapan sistem administrasi pemerintahan seperti itu berpotensi memunculkan tindakan transaksional. 

Karena itu, lanjut Mendagri, perlunya penerapan sistem administasi pemerintahan yang lebih transparan dan mengurangi kontak fisik. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan digitalisasi di berbagai bidang, mulai dari perencanaan hingga eksekusi kebijakan. Hal itulah yang memunculkan konsep smart city, smart government, dan e-government

“Banyak saya kira hal-hal tindak pidana korupsi by system karena sistemnya, oleh karena itu perbaikan sistem perlu kita lakukan,” ujar Mendagri. 

Sementara itu, penyebab kedua yakni terkait dengan kurangnya integritas yang dimiliki individu, sehingga memunculkan tindakan korupsi. Hal itu juga didorong dengan kurangnya kesejahteraan yang didapatkan oleh penyelenggara negara. Karena itu, aspek kesejahteraan perlu dipikirkan untuk mencegah terjadinya korupsi. Meski hal itu juga tidak sepenuhnya menjamin mampu menghilangkan perilaku korup.

“Tapi yang hampir pasti kalau semua kurang ya dia berusaha untuk mencari dan akhirnya melakukan tindak pidana korupsi,” terang Mendagri. 

Penyebab ketiga, yakni terkait dengan budaya (culture). Pasalnya, seringkali ditemukan praktik-praktik yang salah, tapi dianggap benar karena kebiasaan. Mendagri mencontohkan, adanya pimpinan yang menganggap bahwa prestasi bawahan diukur dari loyalitas yang salah kaprah. 

“Budaya-budaya (korupsi) ini harus dipotong, dan ini memerlukan kekompakan dari atas sampai dengan bawah, memiliki satu mindset, frekuensi yang sama,” kata Mendagri. 

Mendagri menekankan, tindak pidana korupsi harus ditekan seminimal mungkin untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Karena dengan terselenggaranya pemerintahan yang bersih, diharapkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan ASN akan ikut meningkat. 

“Kesejahteraan ASN, misalnya, itu akan dapat didongkrak dan naik, sehingga salah satu solusi (yaitu) untuk menekan tindak pidana korupsi,” tuturnya. 

Mendagri berpesan, penyebab-penyebab tersebut perlu diatasi. Namun, upaya itu memerlukan kekompakan dari struktur paling atas hingga jajaran yang di bawah. Mendagri sendiri mengaku telah menyampaikan hal itu kepada jajarannya. 

Adapun rapat bersama tersebut digelar karena keprihatinan Mendagri terhadap fenomena operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK kepada berbagai pihak, termasuk kepala daerah, baru-baru ini. Karena itu, kepada seluruh peserta yang hadir, Mendagri terus mengingatkan tentang bahaya tindak pidana korupsi. 

Menurut Mendagri, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, selain berdampak pada individu yang bersangkutan, juga berdampak pada sistem pemerintahan, termasuk kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tergerusnya kepercayaan publik ini juga dapat menghambat pembangunan. Tak hanya itu, hal ini juga dapat mengganggu sistem pemerintahan sebagai tulang punggung jalannya administrasi pemerintahan dan kenegaraan. 

“Saya sangat yakin banyak sekali kepala daerah yang berprestasi, yang telah melakukan kinerja dengan sangat baik, namun apa pun juga, masalah-masalah hukum yang dalam bulan ini ditangani oleh penegak hukum, wabil khusus KPK, ini akan berdampak kepada kepercayaan publik,” jelasnya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement