Ahad 09 Jan 2022 18:41 WIB

Integrasi LPNK ke BRIN Disebut Malapetaka Riset dan Inovasi

BRIN semestinya kembali menjalankan tugasnya sebagai pusat koordinasi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Petugas keamanan berjaga di depan Kantor Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman di Jakarta, Rabu (5/1). LBM Eijkman dinyatakan resmi melebur bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kini, Nama LBM Eijkman telah berubah menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman. Terintegrasinya LBM Eijkman ke dalam BRIN diharapkan akan memperkuat kompetensi periset biologi molekuler di Indonesia. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas keamanan berjaga di depan Kantor Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman di Jakarta, Rabu (5/1). LBM Eijkman dinyatakan resmi melebur bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kini, Nama LBM Eijkman telah berubah menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman. Terintegrasinya LBM Eijkman ke dalam BRIN diharapkan akan memperkuat kompetensi periset biologi molekuler di Indonesia. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengintegrasian lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) disebut sebagai malapetaka untuk riset dan inovasi Indonesia. BRIN disarankan agar kembali menjalankan tugas sebagai pusat koordinasi.

"Penciptaan BRIN yang kemudian mengintegrasikan, melikuidasi, berbagai LPNK itu adalah malapetaka untuk riset dan inovasi Indonesia," ujar Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra, kepada Republika, Ahad (9/1).

Baca Juga

Menurut Azyumardi, BRIN semestinya kembali menjalankan tugas sesuai dengan Undang-Undang (UU) Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yakni sebagai pusat koordinasi. Langkah yang dapat dilakukan BRIN dengan fungsinya tersebut, kata dia, adalah membentuk klaster-klaster. Dia mengusulkan pembentukan empat kluster.

Klaster pertama adalah klaster badan-badan pusat penelitan dan pengembangan yang ada di kementerian dan badan-badan lain yang nonkementerian. Klaster pertama itu nantinya dapat dijadikan sebagai penunjang perumusan langkah-langkah kebijakan yang hendak diambil.

"Jadi jangan kemudian ditaruh semua, dikendalikan oleh BRIN. Nanti saya kira terjadi juga siapa yang membiayai gitu. Apakah pemerintah daerah atau pusat. Itu masalah juga," kata dia.

Kemudian, klaster berikutnya berupa klaster Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA). Klaster ketiga, kata dia, dapat berupa klaster perguruan tinggi. Lalu, klaster keempat yang dia sarankan untuk dibentuk ialah klaster berisi lembaga-lembaga yang memang digenjot oleh pemerintah untuk melakukan riset unggulan dan inovasi.

"Termasuk dalam hal ini misalnya mungkin BPPT, LAPAN, BATAN, itu riset center of excelence. Jadi pusat-pusat keunggulan. Misalnya belum efisien, ya diefisienkan. Tapi jangan dibubarkan. Jadi bangunlah klaster-klaster itu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement