Kamis 30 Dec 2021 17:49 WIB

Mahfud Sebut Penampungan Pengungsi Rohingya di Aceh Bersifat Sementara

Penampungan pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut atas dasar kemanusiaan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Mas Alamil Huda
KRI Parang-647 ditugaskan menarik perahu yang ditumpangi pengungsi Rohingya di perairan Aceh menuju Pelabuhan Kruengkeukuh, Kota Lhokseumawe pada Kamis (30/12) pagi WIB.
Foto: Dok Dispenal
KRI Parang-647 ditugaskan menarik perahu yang ditumpangi pengungsi Rohingya di perairan Aceh menuju Pelabuhan Kruengkeukuh, Kota Lhokseumawe pada Kamis (30/12) pagi WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, penampungan pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di lautan dekat Kabupaten Bireuen, Aceh, bersifat sementara. Sebab, Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967.

"Kita tak meratifikasi itu. Tapi kita kan punya rasa kemanusiaan. Kita tampung, tapi sementara," ujar Mahfud saat ditemui di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (30/12).

Baca Juga

Dia menerangkan, Indonesia memang tidak ikut meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 yang dibentuk Badan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Mahfud menyatakan, penampungan pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut tersebut dilakukan atas dasar kemanusiaan.

"Kan kita punya rasa kemanusiaan juga. Mereka itu masuk ke perairan dan ada yang mau mati. Ada yang melompat, ada yang mau menenggelamkan diri karena sakit, ada yang karena kalau dikembalikan dia lebih baik mati saja. Ada juga yang begitu. Akhirnya kita tampung," jelas dia.

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) mengerahkan KRI Parang-647, untuk menarik perahu kayu pengangkut pengungsi etnis Rohingya yang membawa lebih dari 100 orang dari titik ditemukan di 53 NM Bireuen, perairan Aceh menuju Pelabuhan Kruengkeukuh, Kota Lhokseumawe, pada Kamis (30/12) pagi WIB.

Lokasi Pelabuhan Kruengkeukuh, dipilih mengingat perlunya sarana labuh, sterilisasi lokasi untuk pemeriksaan kesehatan, dan penegakan protokol kesehatan (prokes). Hal itu agar tidak terjadi keramaian yang dapat menganggu proses pemeriksaan kesehatan dan lebih dekat dengan tempat karantina, sekaligus tempat relokasi di medan jika diputuskan untuk direlokasi.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono mengatakan, pihaknya memerintahkan unsur KRI dan prajurit untuk melaksanakan penarikan kapal pengungsi. Keputusan itu diambil setelah ada perintah resmi dari pemerintah atas dasar kemanusiaan.

Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal), Laksamana Pertama (Laksma) Julius Widjojono, mengatakan, penarikan kapal pengungsi telah dilaksanakan sejak pukul 06.00 WIB. Hal itu setelah dipastikan kondisi cukup terang dan aman untuk proses pengikatan dan penarikan kapal di tengah ombak laut lepas. "Estimasi akan tiba di Pelabuhan Kruengkeukuh, Lhokseumawe, sekitar pukul 18.30 WIB," kata Julius.

Pemerintah Indonesia melalui Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Inspektur Jenderal (Irjen) Armed Wijaya, pada Rabu (29/12), memutuskan untuk mendaratkan para pengungsi Rohingya. Lokasi kapal pengungsi berada di tengah laut, sekitar 53 mil dari perairan Bireuen, Aceh. Langkah ini diambil atas nama kemanusiaan.

"Keputusan ini kita buat mempertimbangkan kondisi darurat yang dialami pengungsi di atas kapal tersebut," ujar Armed yang juga Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (PPLN). Menurut dia, etnis Rohingya di kapal tersebut didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Selama ini, etnis Rohingya kabur dari Myanmar karena mencoba menghindari tekanan militer negaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement