Kamis 23 Dec 2021 19:03 WIB

Melirik Keadilan di Tuntutan Mati Terdakwa ASABRI

Dalam kasus megakorupsi ASABRI hanya terdakwa dari swasta yang dikenai tuntutan mati.

Terdakwa kasus korupsi ASABRI Heru Hidayat (kanan) berjalan meninggalkan ruangan saat jeda sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan hukuman mati bagi Heru.
Foto:

Dalam kasus dugaan korupsi ASABRI, Presiden Direktur PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut jaksa dengan pidana hukuman mati karena jaksa meyakini Heru bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT ASABRI yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun. Selain itu, Heru Hidayat dituntut hukuman uang pengganti Rp 12,434 triliun.

Berbeda dengan Heru Hidayat, sejumlah pihak lain yang diyakini jaksa bersama-sama melakukan korupsi dalam kasus Asabri khususnya dari jajaran direksi PT Asabri mendapat ancaman hukuman yang lebih ringan.

Sejumlah pihak lain ini adalah Dirut PT ASABRI periode 2012-Maret 2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri dituntut jaksa dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 17,9 miliar. Lalu, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2012-Juni 2014 Bachtiar Effendi dituntut dengan hukuman penjara 12 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 453,7 juta.

Kemudian, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode Juli 2014-Agustus 2019 Hari Setianto dituntut dengan hukuman penjara 14 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara Dirut PT Asabri periode Maret 2016-Juli 2020 Letjen Purn Sonny Widjaya dituntut dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 64,5 miliar.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) masih melihat hukuman mati tidak akan memberikan efek jera terutama dalam sanksi tindak pidana korupsi. Apalagi saat ini pemerintah sedang didesak melakukan moratorium hukuman mati. "Perkara-perkara korupsi cukup banyak, apakah dasar JPU (menuntut hukuman mati) adalah untuk memberikan efek jera," ujar Wakil Koordinator Kontras Arif Nur Fikri, Kamis (23/12).

Menurut Arif, seharusnya JPU belajar dari perkara-perkara lain seperti narkoba dan pembunuhan berencana. Menurut dia, pidana hukuman mati dalam dua perkara tersebut sama sekali tidak memberikan efek jera.

"Kalau memang dasarnya memberikan efek jera, seharusnya JPU bisa berkaca dari perkara-perkara lain seperti Narkotika dan pembunuhan berencana, di mana hal tersebut jelas bahwa tuntutan hukuman mati tidak memberikan efek jera sama sekali," ujar dia.

Selain itu, kata Arif, seharusnya JPU mendukung langkah pemerintahan Joko Widodo yang secara tidak langsung sedang melakukan moratorium hukuman mati. Menurut dia, meskipun hukum positif di Indonesia masih membolehkan hukuman mati termasuk untuk kasus korupsi, namun hukuman mati tersebut sebaiknya tidak diterapkan karena belum terbukti memberikan efek jera.

KontraS menilai pemerintah saat ini secara tidak langsung sedang berusaha melakukan moratorium terkait dengan eksekusi mati. Seharusnya upaya-upaya tersebut didukung oleh aparat penegak hukum, tidak menambah deretan hukuman mati.

"Saya rasa solusinya akan lebih bijak jika aparat penegak hukum mencari solusi penghukuman lain selain hukuman mati, jika tujuannya untuk memberikan efek jera ketimbang hukuman mati," imbuh dia menambahkan.

Sementara Divisi Hukum Kontras Auliya Rayyan menilai hukuman mati pada dasarnya hanya melemahkan proses hukum. Pasalnya hukuman mati tidak dapat memberi pelajaran pada pelaku kejahatan termasuk tidak memberikan efek jera.

"Hukuman mati tidak akan membuat koruptor jera selama sistem peradilan masih memiliki orang-orang yang sama, yang terus memotong hukuman koruptor, masih ada," tegasnya.

Ia memberi contoh, sudah ada banyak kasus korupsi yang hukumannya dipotong dengan alasan-alasan remeh berlaku baik, sangat menyesal, dan lain-lain. "Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kasus ini (kasus Asabri) hukuman mati cuma hanya jadi basa-basi belaka dan bisa saja berubah," jelas Auliya.

Selain itu, kata Auliya, hal lain yang membuat hukuman mati tidak memberikan efek jera pada koruptor adalah kelonggaran yang membuat pejabat publik dapat melakukan korupsi. Selama korupsi masih terus bisa dijalankan dengan mudah dan berbanding terbalik dengan semangat menghukum koruptor yang kecil, tutur dia, maka korupsi akan terus langgeng.

"Oleh karena itu, yang mesti diubah tidak cuma sistem penghukuman untuk koruptor, tapi juga kebijakan-kebijakan lain yang dapat mempersempit pergerakan pejabat publik untuk melakukan korupsi," jelasnya.

photo
Sembilan Tersangka Kasus Korupsi Asabrir - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement