Rabu 15 Dec 2021 14:14 WIB

FPPP: Presidential Threshold Bentuk Penghargaan Bagi Parpol

PPP menilai presidential threshold bentuk penghargaan bagi parpol

Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi, sebut presidential threshold bentuk penghargaan bagi parpol (foto: ilustrasi)
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi, sebut presidential threshold bentuk penghargaan bagi parpol (foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi, mengatakan keberadaan ambang batas untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), merupakan bentuk penghargaan kepada partai politik yang sudah berjuang di pemilu. Meski begitu, menurutnya sah-sah saja jika ada uang mendorong presidential threshold harus menjadi 0 persen.

"Selain itu, jangan sampai Presiden terpilih nantinya tidak dapat dukungan di parlemen sehingga akan menghambat kebijakan yang dibuatnya," kata Baidowi di Jakarta, Rabu (15/12).

Baca Juga

Dia menilai, usulan agar presidential threshold menjadi 0 persen merupakan hal yang sah-sah saja disampaikan sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, termasuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga dilindungi UU. Menurutnya, gugatan terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu agar PT 0 persen sudah sering dilakukan dan ditolak MK.

"MK memberikan kekuasaan kepada pembentuk UU yaitu DPR dan pemerintah untuk mengatur mengenai ketentuan ambang batas," ujarnya.

Baidowi mengatakan, sejauh ini belum ada rencana merevisi UU Pemilu sehingga ketentuan UU tersebut tetap berlaku sepanjang menyangkut pasal-pasal yang tidak dibatalkan MK.

Sebekumnya, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen memiliki biaya politik yang tinggi. Menurutnya hal itu berpotensi menimbulkan kasus korupsi.

"Presidential threshold 20 persen itu mengakibatkan biaya politik menjadi tinggi. Sangat mahal. Biaya politik tinggi menyebabkan adanya potensi politik transaksional. Ujung-ujungnya adalah korupsi," kata LaNyalla dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (15/12).

Jika ambang batas presiden ditiadakan atau turun menjadi 0 persen, menurut dia, tidak akan ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.  "Presidential threshold setinggi itu akan membatasi munculnya tokoh dan figur terbaik bangsa dari berbagai elemen untuk jadi pemimpin dan yang akan terjadi adalah kompromi-kompromi politik," ujarnya.

LaNyalla meyakini hal itu karena faktanya sudah ada tujuh partai politik berkoalisi, yang jumlahnya sudah menguasai 82 persen kursi di DPR RI. Selain kompromi tidak sehat, lanjut dia, ambang batas presiden sebesar 20 persen juga dapat menyebabkan konflik yang tajam di tengah masyarakat.

"Karena calonnya cuma dua. Membelanya sampai mati-matian. Yang terjadi kemudian berselisih dan bertengkar. Itu masih terjadi sampai saat ini," ucap LaNyalla.

LaNyalla juga menyinggung terkait dengan undang-undang yang bersifat koruptif bila tidak menguntungkan rakyat. "Kalau menurut saya, sebuah undang-undang yang memberikan ruang penyerahan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar, kemudian merugikan rakyat, itu sejatinya undang-undang yang koruptif," papar anggota DPD RI asal Daerah Pemilihan Jawa Timur itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement