REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan perumahan rakyat dinilai bisa menjadi instrumen sosial untuk menekan polarisasi politik di tengah masyarakat. Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), A. Khoirul Umam, menilai langkah itu bisa dilakukan melalui skema social engineering, dengan mengatur komposisi penghuni kompleks perumahan rakyat bersubsidi.
"Target penghuni perumahan bersubsidi ini kan kelompok milenial dan generasi Z yang mayoritas keluarga baru. Komposisi mereka perlu diatur. Jangan ada dominasi latar belakang, harus mengakomodir multikulturalisme masyarakat kita," kata Umam dalam diskusi bertajuk "Merumahi Rakyat, Membangun Solusi Bagi Masalah Multidimensional Bangsa" yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bekerja sama dengan Bank BTN, Selasa (14/12).
Dosen ilmu politik dan international studies, Universitas Paramadina itu melanjutkan, dalam satu kompleks perumahan atau satu lantai di rumah vertikal bersubsidi, tidak boleh komposisi penghuninya didominasi oleh satu suku tertentu. Pengaturan populasinya harus mempertimbangkan variabel multikulturalisme, tidak hanya suku Jawa, melainkan juga dari Bugis, Minang, Batak, hingga generasi muda Tionghoa di Indonesia.
"Bertemunya elemen-elemen sosial itu di kompleks perumahan bersubsidi, akan membuka terciptanya komunikasi horizontal, yang sangat efektif untuk menekan tren polarisasi politik yang belakangan semakin dieksploitasi oleh hadirnya digital democracy yang memfasilitasinya hadirnya hoaks, fake news hingga hate speech di masyarakat kita," ujarnya.
Padangan Umam itu senada dengan CEO Askakreativa yang juga mantan Ekonom Bank Dunia Indonesia, Vivi Alatas, yang menilai bahwa perumahan rakyat ke depan bisa memadukan masyarakat di berbagai kelas sosial. "Jadi modelnya mixed-income housing, supaya interaksi sosial masyarakat kita semakin produktif dan resilient," kata Vivi.