REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Ahli Hukum Indonesia (PAHKI) menyesalkan pihak kepolisian terkesan menutupi kasus cabul yang dilakukan Herry Wirawan (HW) telat diungkap ke publik. Padahal, kasus ini, bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih selektif terutama bagi pemerintah dalam memberikan izin, donatur memberikan bantuannya, dan orang tua menempatkan putra-putrinya di lembaga pendidikan.
"Kenapa sejak bulan Mei Polri seakan menutup-nutupi kasus ini dari mata para jurnalis dan publik? Benarkah, demi melindungi para korban? Saya tidak percaya," kata Wakil Ketua Umum Persatuan Ahli Hukum Indonesia (PAHKI) Riri Purbasari Dewi, saat dihubungi awak media, Senin (13/12).
Menurut Riri, minimnya perhatian dan supervisi dari publik terhadap kasus ini, bisa dianggap sebagai semacam intimidasi kepada para korban dan keluarganya. Sudah selayaknya korban mendapat dukungan moril dari masyarakat dan media.
"Jika tidak ada atensi dan supervisi dari masyarakat seolah mereka sedang berjuang sendirian melawan tembok kokoh yang sulit mereka rubuhkan," kata Riri.
Riri yang juga Ketua Bidang (kabid) Publikasi, Hubungan Masyarakat dan Protokoler DPN Peradi ini memastikan, Polri, Kejaksaan, organisasi advokat di Peradi, dan Mahkamah Agung paham betul bagaimana mengelola informasi terkait kasus ini. Semua ada panduannya di UU Perlindungan Anak dan KUHAP, dalam hal menyampaikan informasi ke publik terkait kasus kejahatan kesusilaan terhadap anak.
"Korban harus dilindungi, identitas korban harus ditutupi, persidanganpun harus dinyatakan tertutup untuk umum. Semua sudah sangat paham itu," kata Riri
Selain itu, Riri juga menegaskan, kasus dan perkaranya tidak boleh di tutupi tutupi. Karena publik berhak untuk mengetahui, sehingga bisa ikut mengawasi. Sebab, kata dia, itu adalah amanat dari Undang undang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Karena, menurut Undang-undang keterbukaan informasi publik tersebut, keterbukaan informasi publik adalah bagian dari hak azazi manusia, dan merupakan bentuk kedaulatan rakyat di sebuah negara demokrasi yang merdeka. Berarti, apabila ada kekuatan yang bisa mengatur dan menyetir arus informasi ke publik.
"Itu berarti ada ancaman serius bagi kedaulatan rakyat Indonesia dan kelangsungan demokrasi di republik tercinta ini," tutup Riri.