Sabtu 11 Dec 2021 10:08 WIB

LP3ES: Pemberantasan Korupsi Memburuk Setahun Terakhir

Pidato Presiden Jokowi dinilai tidak mencermjnkan realitas pemberantasan korupsi.

Presiden Joko Widodo berpamitan dengan Ketua KPK Firli Bahuri usai menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/12). Hakordia 2021 tersebut bertajuk Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Presiden Joko Widodo berpamitan dengan Ketua KPK Firli Bahuri usai menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/12). Hakordia 2021 tersebut bertajuk Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat menilai situasi pemberantasan korupsi di Indonesia setahun terakhir justru memburuk. Penilaian ini mengacu pada makin maraknya kasus korupsi yang terungkap dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat penyingkiran sejumlah penyidik. Hal ini disampaikan dalam diskusi online Evaluasi Akhir Tahun LP3ES: Bidang Hukum dan Masalah Korupsi 2021, yang berlangsung Jumat (10/12) malam.

Berbicara dalam diskusi tersebut adalah Rektor Universitas Paramadina Prof Didiek J Rachbini, Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM (CESDA) LP3ES yang juga pengajar di UGM Herlambang P Wiratraman, peneliti LP3ES Malik Ruslan, dan Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto.

“Secara umum apa yang terjadi selama setahun terakhir ini sudah bisa diperkirakan, bahwa situasinya akan terus memburuk dalam kaitan pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Herlambang, dalam rilis yang diterima pers, Sabtu (11/12) pagi. 

Ia memandang ada tiga masalah mendasar yang harus diselesaikan dalam bidang pemberantasan korupsi. Pertama adalah desain dari politik hukum dan legislasi serta ketatanegaraan yang dihadapi KPK. Bahwa telah terjadi pelemahan lembaga KPK, yang dibenarkan secara ketatanegaraan. 

Kemudian, ageda-agenda reformasi, birokrasi yang bersih dan tata pemerintahan yang benar tiba-tiba mengalami situasi yang berbanding terbalik karena masifnya perilaku korupsi saat ini.  “Yang terlihat, korupsi semakin tidak dapat dihentikan, atau tidak terkendali lagi. Hal itu adalah akibat dari fenomena pelemahan dari aspek legislasi,” kata Herlambang.

Kedua, lanjut dia, harus dimaknai dengan sungguh-sungguh bahwa ada keterkaitan pelemahan aspek legislasi dengan penyingkiran sejumlah pegawai KPK dengan mekanisme yang sungguh manipulatif. Karena beberapa hal tidak dijelaskan  secara terbuka. Bahkan institusi yang seharusnya melaksanakan secara profesional dan penuh instegritas, tetapi justru mencederai proses-proses tersebut. Sementara pada saat yang sama, Herlambang menambahkan, publik menyaksikan ada pelanggaran-pelanggaran sangat serius dan mendasar yang dilakukan oleh para pimpinan KPK. “Tapi justru tidak ada sanksi sama sekali!” kata dia. Padahal jenis pelanggaran yang dilakukan, menurut dia, sungguh sangat memalukan. 

Herlambang mengacu pada kasus Ketua KPK Firli Bahuri yang menggunakan helikopter sewaan saat pulang kampung, dan komisioner Lili Pintauli yang berhubungan dengan kepala daerah yang berkasus di KPK. Akibatnya, kata dia, publik mulai kehilangan kepercayaan kepada lembaga KPK sebagai pemberantas korupsi. Padahal, ia menekankan, kepercayaan publik dalam hal ini adalah harus dibangung dan dijaga. 

Ketiga, Herlambang melanjutkan, catatan kelam harus diberikan terutama dalam penegakan hukum terkait eksploitasi sumber daya alam. Menurut Herlambang, hal ini telah menyingkirkan hak hak masyarakat adat dengan adanya pelanggaran HAM. Belum lagi soal munculnya dugaan penyalahgunaan pada langkah-langkah penanganan pandemi terutama bisnis PCR. “Ini harus terus ditelusuri dan diungkap kebenarannya.”

Peneliti LP3ES, Malik Ruslan, mencatat ada empat masalah besar pemberantasan korupsi setahun terakhir. Pertama, ia sepakat dengan Herlambang bahwa ada persoalan pelemahan aspek legislasi. Selain lewat UU KPK, kemudian pembatalan PP Nomor 99 tahun 2012 yang mengatur soal pembatalan pengetatan remisi terhadap koruptor. Malik mencatat, selama Januari-Agustus 2021 ada 121 koruptor yang mendapat remisi. “Mereka mendapat remisi yang bertentangan dengan kualifikasi  korupsi sebagai kejahatan luar biasa,” kata dia. 

Kedua, Malik melanjutkan, sistem antikorupsi yang belum juga kokoh. Ini terlihat dari banyaknya pengajuan peninjauan kembali (PK) terpidana korupsi ke Mahkamah Agung. Apalagi pascameninggalnya hakim agung Artidjo Alkostar. 

Persoalan selanjutnya, sambung dia, problem kelembagaan yang justru muncul di KPK. Menurut dia, masuknya pimpinan KPK terbaru mengubah seluruh susunan dan tatanan yang ada,  yang sudah berjalan sebelumnya, ke sesuai selera komisioner yang baru. 

Keempat, Malik menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo di Hari Anti Korupsi Sedunia kemarin. Pada saat itu Presiden mengakui bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, namun menurut Malik, kebijakan pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi setahun terakhir tidak memperlihatkan hal itu. 

Prof Didik J Rachbini pun berpendapat serupa soal pidato Presiden kemarin. Menurut Didik, justru menjadi pertanyaan sekarang memaknai Hari Antikorupsi Sedunia dengan pidato Presiden itu, sementara pegiat antikorupsi menilai apa yang dikatakan Presiden malah berlawanan dengan apa yang telah ia lakukan setahun terakhir.

 

sumber : Rilis
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement