Jumat 26 Nov 2021 14:00 WIB

RUU TPKS Mendesak Disahkan

Sudah 7 tahun lamanya sejak RUU pertama kali disusun, tapi kini statusnya mangkrak.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/Amri Amrullah/ Red: Agus Yulianto
Ketua DPR RI Puan Maharani
Foto:

Aturan PPPKS harus sempurna ditegakkan

Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti beberapa hal berkaitan dengan aturan dan kerentanan perempuan. Menurut KontraS aturan terkait Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) perlu segera disempurnakan dan ditegakkan.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti mengaku, melihat sejumlah persoalan yang berkaitan dengan perampasan hak-hak perempuan. Dimana tidak semua aturan permerintah melalui PPKS, belum berhasil sepenuhnya dituntaskan oleh negara atau bahkan negara belum berhasil memberikan perlindungan dalam bentuk jaminan keamanan dan perlindungan secara spesifik.

"Jika ditarik jauh ke belakang dalam sejarah perjalanan bangsa, kekerasan dan ketimpangan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di masa sekarang," kata dia, Kamis (25/11) dalam keterangan persnya.

Jauh dari sebelum era reformasi, bangsa Indonesia sendiri telah dihadapkan oleh pelbagai macam pelanggaran HAM berat masa lalu dan perempuan menjadi korban kekerasan yang tak luput dari kekerasan seksual dalam setiap konfliknya. Misalnya pada peristiwa 1965, konflik Aceh, Timor-Timur, Mei 1998, dan berbagai pelanggaran HAM berat di tanah Papua yang menyebabkan ribuan perempuan dan anak menjadi korban berbagai kejahatan kemanusiaan.

"Perempuan dan anak tak luput jadi korban kekerasan berujung kematian, pemerkosaan, penyiksaan, tindakan dan kebijakan diskriminatif, hingga stigmatisasi baik dari aparat atau dari sesama warga yang terprovokasi," terangnya.

Kekerasan dan ketimpangan terhadap perempuan dalam pelanggaran HAM berat masa lalu ini tak hanya dirasakan saat konflik terjadi. Bahkan, pasca situasi konflik perempuan juga masih mengalami kekerasan psikis berupa trauma yang ditandai dengan sikap menutup diri dengan lingkungan sekitar, yang mana ini tentu berdampak pada tidak adanya pemulihan yang didapatkan oleh para korban.

Hingga kini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang dilandaskan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia masih stagnan. Ditambah, proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi belum dilakukan sehingga menyebabkan korban dan keluarga korban juga belum mendapatkan keadilan dan pemulihan dari negara.

Hal tersebut terlihat dari data milik Komnas Perempuan, yang menunjukkan bahwa per Juli 2021 terdapat 2.592 kasus kekerasan seksual. Angka ini melebihi total kasus yang diterima pada Oktober tahun 2020 lalu.

Memurut dia, diberlakukannya Permendikbud Ristek PPKS merupakan angin segar dalam perjuangan penghapusan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi/kampus. Sasaran Permendikbud Ristek PPKS ini dapat mencegah dan menangani setidaknya sebelas kemungkinan kejadian kekerasan seksual yang menimpa hubungan antar mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.

"Pengesahan Permendikbud tersebut menjadi momentum penting bagi regulasi lainnya agar lebih memiliki keberpihakan dan perspektif terhadap korban dan perempuan. Peraturan tersebut memang belum secara penuh melindungi warga negara dari kekerasan seksual secara keseluruhan," imbuhnya.

Maka dari itu, perlu peraturan yang lebih tinggi lagi yaitu dengan bentuk undang-undang yang dapat memberikan perlindungan dari kekerasan seksual secara menyeluruh.

Kemudian, keberadaan Permendikbud sudah seharusnya menjadi pemantik bagi DPR RI untuk mengambil langkah progresif dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Sudah kurang lebih 7 tahun lamanya sejak RUU ini pertama kali disusun namun hingga kini statusnya mangkrak dan tak kunjung disahkan.

Padahal, RUU TPKS dapat menjadi solusi bagi situasi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang angkanya konsisten tinggi setiap tahunnya. Absennya payung hukum dan tidak berpihaknya instrumen hukum yang ada terhadap korban menjadi penghambat besar penanganan kekerasan seksual di Indonesia.

Survei yang dilaksanakan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual berakhir tanpa kepastian. Belum lagi, fenomena gunung es dalam kasus ini yang menunjukkan bahwa jumlah laporan kasus kekerasan seksual hanya merepresentasikan sejumlah kecil fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

 

"Tidak segera disahkannya RUU TPKS menunjukkan minimnya keberpihakan DPR terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual di Indonesia," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement