Kamis 18 Nov 2021 15:44 WIB

RUU TPKS tak Legalkan Seks Bebas

‘Jangan kita selalu bermain asumsi, mengeksploitasi emosi publik,’ kata Willy.

Rep: Nawir Arsyad Akbar, Antara/ Red: Ratna Puspita
Ketua panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya menegaskan, RUU TPKS tak melegalkan seks bebas dan LGBT seperti yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang kontra. Ilustrasi
Foto: Pixabay
Ketua panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya menegaskan, RUU TPKS tak melegalkan seks bebas dan LGBT seperti yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang kontra. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya menegaskan, RUU TPKS tak melegalkan seks bebas dan LGBT seperti yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang kontra. Untuk itu, Panja RUU TPKS akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait RUU ini.

"Jangan kita selalu bermain asumsi, mengeksploitasi emosi publik, ya akhirnya yang menjadi korban publik itu sendiri. Itu kan sudah lama kita tunggu, kita kan ingin menjawab dan sejauh ini kita sudah berikhtiar untuk ini segera diputuskan," ujar Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/11).

Baca Juga

Willy mengatakan, RUU ini bertujuan untuk memberikan payung hukum kepada korban kekerasan seksual dalam memperoleh keadilan. "Kehadiran RUU TPKS ini merupakan jawaban dari peradaban kita yang masih brutal, dan keadilan bagi si korban yang sejauh ini mereka cari," ujar dia. 

Ia mengaku heran dengan adanya pihak yang melempar opini negatif kepada RUU TPKS. Opini negatif itu tanpa disertasi dasar data yang jelas dan melupakan nasib korban yang kerap mendapatkan perlakuan tak adil dari undang-undang yang ada saat ini.

"Jangan kemudian kita terus-terusan terjebak dengan agitasi kosong politik yang mengaduk-aduk emosi kita yang seolah-olah undang-undang ini bejat. Kita lihat siapa yang sebetulnya bejat (setelah RUU TPKS disahkan)," ujar Willy.

Sebelumnya, Willy juga menjelaskan RUU TPKS tak mencantumkan persetujuan seks atau sexual consent di dalamnya. "Kami menyusun RUU ini dengan penuh kecermatan dan berbasis sosio-kultural,” kata dia.

Ia menjelaskan, RUU TPKS berbeda dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Permendikbud) Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, yang mencantumkan sexual consent. "Itu mispersepsi, nanti teman-teman bisa lihat, kita tidak memuat sexual consent sama sekali,” kata dia.

Sepakat judul

photo
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya - (Republika/Nawir Arsyad Akbar )
 

Pada Rabu (17/11) kemarin, Willy mengatakan, Panja RUU TPKS baru mencapai kesepakatan terkait judul. Tujuh dari sembilan fraksi di DPR RI sepakat dengan nama rancangan tersebut, sedangkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak setuju.

Fraksi yang setuju, yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Fraksi-fraksi berharap aturan itu mencegah kekerasan seksual.

Baca Juga:

Sementara, anggota Panja Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf menjelaskan, fraksinya mengusulkan nama RUU Tindak Pidana Kesusilaan karena ada sejumlah pasal terkait kekerasan seksual terdapat dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Anggota Panja Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, fraksinya mengusulkan nama RUU Tindak Pidana Seksual agar pelanggaran seksual baik yang memiliki unsur kekerasan maupun tidak, akan diatur di dalamnya.

Selain soal judul, hal lain masih menjadi perdebatan antara sembilan fraksi yang ada di dalamnya. Hal lain itu seperti proses sidang kasus kekerasan seksual tertutup atau terbatas, dan penggunaan kata rehabilitasi atau pemulihan bagi korban.

Lindungi korban

photo
Ahmad Sahroni - (dpr)
 

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai RUU TPKS akan bisa membantu penegak hukum menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan melindungi korban. "Kami di Komisi III DPR sering kali mendengar dari para penegak hukum yang merasa bahwa aturan yang ada belum cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual," kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (17/11).

Sahroni mengatakan, sebagai wakil ketua di Komisi III DPR dia juga sering menerima aduan dari penegak hukum yang merasa UU pidana saat ini tidak cukup menjadi payung hukum untuk menangani berbagai tindakan kekerasan seksual yang kasusnya semakin marak saat ini. Karena itu, dia berharap RUU TPKS ketika disahkan menjadi UU bisa menjadi aturan yang melindungi semua. 

"Untuk para korban juga diharapkan tidak takut lagi melapor kepada yang berwajib, karena sebentar lagi kita punya kerangka kerja perlindungan yang jelas dan terarah," ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual membutuhkan undang-undang tersendiri, yakni RUU TPKS. Menurutnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak cukup untuk melindungi korban.

"Kita bisa pakai imajinasi, bagaimana kita bisa melindungi seseorang yang mengalami kekerasan seksual di sebuah ruang yang sunyi dengan KUHP,  itu tidak mungkin," ujar Mariana di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/9).

Ia mencontohkan, kasus pelecehan seksual yang menimpa salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya, korban tak bisa mendapatkan perlindungan hukum dari KUHP.

"Mohon untuk bisa lebih khusus melihatnya. Jadi kalaupun dia tumpang tindih, tapi di KUHP itu misalnya cukup tidak dia untuk bisa membela kasus staf di KPI itu," ujar Mariana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement