REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya mengatakan, pihaknya gagal menggelar rapat pleno untuk pengambilan keputusan draf tingkat pertama. Penyebabnya, adanya sejumlah fraksi yang menyuarakan pandangan yang berbeda.
"Kalau yang bersurat secara resmi, ya, Golkar dan PPP, bersurat secara resmi untuk meminta pendalaman penundaan. Ini yang kita benar-benar cermati," ujar Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (25/11).
Ia menjelaskan, secara materi, muatan RUU TPKS sebenarnya sudah hampir selesai. Namun belakangan, ada sejumlah fraksi yang menolak sejumlah poin yang ada di dalam draf tersebut.
"Kami sudah akomodir, tapi at the end dimentahin. Itu yang kemudian sebuah usaha yang sifatnya merusak apa yang sudah dibangun," ujar Willy.
Ia mengaku belum bisa memastikan bahwa draf RUU TPKS tersebut bakal dibawa pada pengambilan keputusan tingkat pertama dalam rapat paripurna. Namun, Panja saat ini masih dalam upaya lobi untuk kemudian berharap draf RUU itu bisa disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
"Kami sedang menunggu saja kita belum bisa memastikan sesuai dengan tanggal 25," ujar politikus Partai Nasdem itu.
Ketua Umum Fatayat NU, Anggia Ermarini, menyatakan telah melakukan berbagai macam advokasi baik melalui lobby partai, anggota DPR, pendidikan publik, maupun turun ke jalan bersama jaringan masyarakat sipil untuk mendesak pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS) yang sudah dinanti-nantikan banyak pihak segera.
Di sisi lain, dia mengatakan, para korban kekerasan seksual terus berjatuhan setiap harinya dan masih belum mendapatkan keadilan. Para korban ini juga tidak mendapatkan perlindungan dari negara.
"Berdasarkan itu, Fatayat NU memiliki keinginan besar memberikan edukasi kepada masyarakat dan juga menggalang dukungan dari segala komponen masyarakat agar terus merapatkan barisan untuk mendukung RUU TPKS ini," ujarnya.