Jumat 26 Nov 2021 09:57 WIB

UU Ciptaker, Akademisi: Pembuatan UU Sering Tabrak Prosedur

MK memutuskan UU Cipta Kerja inskonstitusional secara bersyarat.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat. MK menyatakan, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Pertimbangannya, MK menilai metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas, apakah metode itu merupakan pembuatan UU baru atau revisi. MK turut berpendapat dalam pembentukan UU tidak memegang asas keterbukaan publik.

Baca Juga

Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie, mengatakan, yang harus dipahami publik ini bukanlah pengujian materiil, tapi uji formil. Uji formil tidak terkait materi muatan pasal-pasal di dalamnya. "Tapi, terkait proses politik pembentukan undang-undang," kata Gugun kepada Republika.co.id, Jumat (26/11).

Bukan hanya uji materiil terkait hierarki norma, Gugun menambahkan, soal law making process legislation juga bisa dipertimbangkan oleh MK. Karena melihat dinamika dari pembuatan undang-undang yang sering kali menabrak prosedur. "Seperti tanpa naskah akademik, tidak ada konsultasi publik, bahkan ada penyelundupan pasal," ujar Gugun.

Dalam konteks ini, pemohon mendalilkan kalau pembentukan UU Cipta Kerja tersebut minim transparansi publik. Selain melanggar asas transparansi, pembuatan UU Cipta Kerja menggunakan model penyusunan omnibus law yang melanggar kepastian hukum.

Putusan MK berbunyi inkonstitusional bersyarat, berarti sejak putusan dibacakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, sampai syarat perbaikan yang diminta MK dipenuhi dalam jangka dua tahun oleh pembentuk undang-undang, DPR dan presiden. Waktu dua tahun itu tidak mudah untuk memperbaiki aspek formil, apalagi melihat kinerja legislasi DPR dan presiden yang performanya tidak bagus.

Konsekuensinya, kata Gugun, seluruh peraturan pelaksana tidak boleh lahir sampai syarat perbaikan dipenuhi. Baik itu peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan penteri dan peraturan turunan lainnya. Gugun menekankan, putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan suatu momentum jika pengujian formil di MK memiliki peluang yang terbuka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement